Pages

MA 65 - 烏鳥喻 [ Perumpamaan Burung Gagak]

Demikianlah telah kudengar:

Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Pada masa lampau, ketika seorang raja pemutar-roda ingin menguji harta permatanya, ia mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, yaitu, pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kaki. Armada pasukan berunsur empat setelah berkumpul, dalam kegelapan malam, pada tengah malam, sebuah bendera tinggi didirikan, permata itu ditempatkan pada puncaknya, dan ia dibawa ke taman hiburan. Kecemerlangan permata itu menyinari armada pasukan berunsur empat, dan cahayanya menjangkau wilayah yang berjarak setengah liga ke arah [mana pun].

“Pada waktu itu, terdapat seorang brahmana yang memiliki pikiran ini: “Aku ingin pergi dan melihat raja pemutar-roda, bersama-sama dengan armada pasukannya yang berunsur empat, dan melihat permata beril.” Kemudian brahmana itu berpikir lagi, “Untuk saat ini, tidak perlu mengunjungi raja pemutar-roda dengan armada pasukannya yang berunsur empat, dan melihat permata beril. Aku alih-alih akan pergi ke dalam hutan.” Maka, brahmana itu mendekati hutan. Setelah tiba di sana, ia memasuki dan pergi ke kaki sebatang pohon.

“Tidak lama setelah ia duduk, seekor berang-berang datang. Melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, berang-berang, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Berang-berang itu] menjawab, “Brahmana, pada masa lampau kolam ini terisi air sampai ke pinggirnya oleh sebuah sumber mata air yang jernih, memiliki banyak akar dan bunga seroja, dan penuh dengan ikan dan kura-kura. Aku sebelumnya [hidup] bergantung padanya, tetapi sekarang ia telah mengering. Brahmana, engkau seharusnya mengetahui bahwa aku ingin meninggalkannya, untuk tinggal di sebuah sungai besar. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Kemudian setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, berang-berang itu pergi.

“Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya. Lagi, datanglah seekor burung jiu-mu. Melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung jiu-mu, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Burung itu] menjawab, “Brahmana, pada masa lampau kolam ini terisi air sampai ke pinggir oleh sebuah sumber mata air yang jernih, memiliki banyak akar dan bunga seroja, dan penuh dengan ikan dan kura-kura. Aku sebelumnya [hidup] bergantung padanya, tetapi sekarang ia telah mengering. Brahmana, engkau seharusnya mengetahui bahwa aku ingin meninggalkannya, untuk bersarang di suatu tempat di mana hewan ternak mati dikumpulkan dan hidup bergantung padanya, … atau keledai mati, … atau untuk bersarang di suatu tempat di mana manusia mati dikumpulkan dan hidup bergantung padanya. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung jiu-mu itu pergi. Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya.

“Lagi, datanglah seekor burung bangkai. Melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung bangkai, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Burung bangkai itu] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu pemakaman besar ke pemakaman besar lainnya, tempat-tempat untuk [mereka yang telah] dicelakai atau dibunuh. Aku sekarang ingin memakan daging gajah mati, kuda mati, hewan ternak mati, dan manusia mati. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung bangkai itu pergi. Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya.

“Lagi, datanglah seekor burung yang memakan muntahan. Melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung yang memakan muntahan, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Burung yang memakan muntahan] menjawab, “Brahmana, apakah engkau melihat burung bangkai baru saja? Aku memakan muntahannya. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung yang memakan muntahan itu pergi. Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya.

“Lagi, datanglah seekor anjing hutan. Setelah melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, anjing hutan, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Anjing hutan itu] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu jurang dalam ke jurang dalam lainnya, dari satu hutan rimba ke hutan rimba lainnya, dan dari satu tempat terpencil ke tempat terpencil lainnya. Aku sekarang ingin memakan daging gajah mati, kuda mati, hewan ternak mati, dan manusia mati. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, anjing hutan itu pergi. Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya.

“Lagi, datanglah seekor burung gagak. Melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung gagak, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Burung gagak itu] menjawab, “Brahmana, engkau orang malas, mengapa engkau bertanya kepadaku, ‘Dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?’?”

“Kemudian, setelah menegur brahmana itu secara langsung, burung gagak itu pergi. Brahmana itu [tetap] duduk di sana seperti sebelumnya.

“Lagi, datanglah seekor kera. Setelah melihatnya, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, kera, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?”

“[Kera] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu taman ke taman lainnya, dari satu taman hiburan ke taman hiburan lainnya, dari satu hutan ke hutan lainnya, untuk minum pada sumber mata air yang jernih dan makan buah-buahan yang baik. Aku ingin pergi sekarang, [walaupun] aku tidak takut dengan orang-orang.”

“Setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, kera itu pergi.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu:

“Aku telah menyampaikan perumpamaan-perumpamaan ini dan ingin [kalian] memahami maknanya. Kalian seharusnya mengetahui bahwa ajaran ini memiliki suatu makna [yang lebih dalam].

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan] “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, berang-berang itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang hidup bergantung pada suatu desa atau kota. Saat fajar bhikkhu ini mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa itu untuk mengumpulkan dana makanan, tanpa melindungi dirinya sendiri, tanpa menjaga indera-inderanya, tanpa mengembangkan perhatian penuh. Ia meskipun demikian mengajarkan Dharma seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha atau oleh salah satu siswa [Sang Buddha]. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan. Ia disediakan dengan semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku yang buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat berang-berang itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, berang-berang, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Berang-berang itu] menjawab, “Brahmana, pada masa lampau kolam ini terisi air sampai ke pinggirnya oleh sebuah sumber mata air yang jernih, memiliki banyak akar dan bunga seroja, dan penuh dengan ikan dan kura-kura. Aku sebelumnya [hidup] bergantung padanya, tetapi sekarang ia telah mengering. Brahmana, engkau seharusnya mengetahui bahwa aku ingin meninggalkannya, untuk tinggal di sebuah sungai besar. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kusebutkan adalah seperti itu. [Ia] terbenam dalam kejahatan, keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat, dan yang mengotori yang merupakan asal mula kehidupan mendatang dan memiliki kekesalan dan penderitaan sebagai buahnya, yang menyebabkan kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti berang-berang; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, mengenakan jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat] [dari rumah ke rumah]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan] “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung jiu-mu itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang hidup bergantung pada suatu desa atau kota. Saat fajar bhikkhu ini mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan tanpa melindungi dirinya sendiri, tanpa menjaga indera-indera, tanpa mengembangkan perhatian penuh. Ia memasuki rumah orang lain dan mengajarkan Dharma seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha atau oleh salah satu siswa [Sang Buddha]. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan, semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku yang buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat burung jiu-mu itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung jiu-mu, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Burung itu] menjawab, “Brahmana, pada masa lampau kolam ini terisi air sampai ke pinggir oleh sebuah sumber mata air yang jernih, memiliki banyak akar dan bunga seroja, dan penuh dengan ikan dan kura-kura. Aku sebelumnya [hidup] bergantung padanya, tetapi sekarang ia telah mengering. Brahmana, engkau seharusnya mengetahui bahwa aku ingin meninggalkannya, untuk bersarang di suatu tempat di mana hewan ternak mati dikumpulkan dan hidup bergantung padanya, … atau keledai mati, … atau untuk bersarang di suatu tempat di mana manusia mati dikumpulkan dan hidup bergantung padanya. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. [Ia] terbenam dalam kejahatan, keadaan-keadaan tidak bermanfaat, dan yang mengotori yang adalah asal mula kehidupan mendatang dan memiliki kekesalan dan penderitaan sebagai buahnya, yang menyebabkan kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti burung jiu-mu; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, memakai jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, dan mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan] “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung bangkai itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang hidup bergantung pada suatu desa atau kota. Saat fajar bhikkhu ini mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan tanpa melindungi dirinya sendiri, tanpa menjaga indera-indera, tanpa mengembangkan perhatian penuh. Ia memasuki rumah orang lain dan mengajarkan Dharma seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha atau oleh salah satu siswa [Sang Buddha]. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan, semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku yang buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat burung bangkai itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung bangkai, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Burung bangkai itu] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu pemakaman besar ke pemakaman besar lainnya, tempat-tempat untuk [mereka yang telah] dicelakai atau dibunuh. Aku sekarang ingin memakan daging gajah mati, kuda mati, hewan ternak mati, dan manusia mati. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti burung bangkai itu; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, memakai jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, dan mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan:] “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, burung yang memakan muntahan itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang hidup bergantung pada suatu desa atau kota. Saat fajar bhikkhu ini mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan tanpa melindungi dirinya sendiri, tanpa menjaga indera-indera, tanpa mengembangkan perhatian penuh. Ia memasuki kediaman para bhikkhuni dan mengajarkan Dharma seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha atau oleh salah satu siswa [Sang Buddha]. Para bhikkhuni itu kemudian memasuki beberapa rumah untuk menjelaskan [apa yang] baik dan [apa yang] buruk, menerima persembahan dari umat yang berkeyakinan, dan membawa mereka kepada bhikkhu itu. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan, semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat burung yang memakan muntahan itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung yang memakan muntahan, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Burung yang memakan muntahan] menjawab, “Brahmana, apakah engkau melihat burung bangkai baru saja? Aku memakan muntahannya. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti burung yang memakan muntahan itu; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, memakai jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, dan mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan], “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, anjing hutan itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang berdiam bergantung pada suatu desa miskin. Jika ia mengetahui bahwa di suatu desa atau kota berdinding tertentu terdapat banyak teman dalam kehidupan suci yang bijaksana dan bersemangat, maka ia menjauhi darinya. Tetapi jika ia mengetahui bahwa di desa atau kota berdinding itu tidak ada teman dalam kehidupan suci yang bijaksana dan bersemangat, maka ia datang dan berdiam di sana selama sembilan bulan atau selama sepuluh bulan. Ketika melihatnya, para bhikkhu bertanya, “Teman yang mulia, di manakah engkau berdiam?” Kemudian ia menjawab, “Teman-teman yang mulia, aku berdiam bergantung pada desa atau kota miskin ini.”

“Mendengar hal ini, para bhikkhu berpikir, “Yang mulia ini berlatih apa yang sulit dilatih. Mengapa demikian? Yang mulia ini dapat berdiam bergantung pada desa atau kota miskin ini.” Para bhikkhu semuanya kemudian menghormatinya, menghargainya, dan menyediakannya dengan makanan. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan, semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat anjing hutan itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, anjing hutan, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Anjing hutan itu] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu jurang dalam ke jurang dalam lainnya, dari satu hutan rimba ke hutan rimba lainnya, dan dari satu tempat terpencil ke tempat terpencil lainnya. Aku sekarang ingin memakan daging gajah mati, kuda mati, hewan ternak mati, dan manusia mati. Aku ingin pergi sekarang, aku takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti anjing hutan itu; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, memakai jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, dan mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan], “Kemudian, setelah menegur brahmana itu secara langsung, burung gagak itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang menghabiskan pengasingan musim hujan bergantung pada suatu tempat yang miskin dan terpencil. Jika ia mengetahui bahwa di suatu desa atau kota berdinding tertentu terdapat banyak teman dalam kehidupan suci yang bijaksana dan bersemangat, ia menjauh darinya. Tetapi jika ia mengetahui bahwa di desa atau kota berdinding itu tidak ada teman dalam kehidupan suci yang bijaksana dan bersemangat, ia datang dan berdiam di sana selama dua bulan atau selama tiga bulan. Ketika melihatnya, para bhikkhu bertanya, “Teman yang mulia, di manakah engkau melewati pengasingan musim hujan?” Kemudian ia menjawab, “Teman-teman yang mulia, aku melewati pengasingan musim hujan bergantung pada tempat yang miskin dan terpencil. Aku tidak seperti orang-orang bodoh itu yang dilengkapi dengan tempat tidur dan disediakan dengan lima kebutuhan, dan hidup dikelilingi olehnya; yang, apakah sebelum tengah hari atau sesudah tengah hari, mulutnya [siap] mengecap rasa-rasa dan memiliki rasa-rasa [siap] dikecap oleh mulutnya; yang meminta dan memohon lagi dan lagi.”

“Mendengar hal ini, para bhikkhu itu berpikir, “Yang mulia ini berlatih apa yang sulit dilatih. Mengapa demikian? Yang mulia ini dapat menghabiskan pengasingan musim hujan bergantung pada tempat yang miskin dan terpencil ini.” Para bhikkhu semuanya kemudian menghormati, menghargai, dan menyediakan makanan [kepadanya]. Karena hal ini ia memperoleh manfaat jubah dan selimut, makanan dan minuman, tempat tidur dan kasur, dan obat-obatan, semua [yang ia butuhkan] untuk hidup. Setelah memperoleh manfaat-manfaat ini, ia menjadi melekat padanya, tergoda olehnya, tidak melihat bahaya di dalamnya, tidak dapat melepaskannya, dengan menggunakannya seperti yang ia inginkan.

“Bhikkhu itu berlatih perilaku buruk, mengembangkan keadaan-keadaan tidak bermanfaat, menuju ekstrem-ekstrem, dan memunculkan bahaya dan kerusakan. Ia tidak menjalankan kehidupan suci, tetapi mengaku [menjalankan] kehidupan suci. Ia bukan seorang pertapa, tetapi mengaku [sebagai] seorang pertapa. Ini seperti halnya [dalam perumpamaan]: melihat burung gagak itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, burung gagak, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Burung gagak itu] menjawab, “Brahmana, engkau gila. Mengapa engkau bertanya kepadaku, ‘Selamat datang, burung gagak, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?’”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti burung gagak itu; janganlah bergantung pada apa yang bertentangan dengan Dharma sebagai penghidupan kalian. Dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang murni, berdiamlah di tempat-tempat yang sunyi, memakai jubah usang, selalu mengumpulkan dana makanan, dan mengumpulkan dana makanan dalam urutan [yang tepat]. Berkeinginan sedikit dan merasa puas, berdiam dengan bahagia, dalam ketidakmelekatan, dan berlatih dengan bersemangat, dengan mengembangkan perhatian penuh, kewaspadaan penuh, konsentrasi benar, dan kebijaksanaan benar. Selalu tidak melekat dan berlatih dengan cara ini.

“Apakah makna perumpamaan yang kusampaikan [yang diakhiri dengan], “Kemudian, setelah bertukar salam ini dengan brahmana itu, kera itu pergi”?

“Seumpamanya terdapat seorang bhikkhu yang hidup bergantung pada suatu desa atau kota. Saat fajar bhikkhu ini mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa itu untuk mengumpulkan dana makanan, dengan tubuhnya terlindungi, dengan indera-indera terjaga, dan dengan perhatian penuh berkembang. Setelah kembali dari mengumpulkan dana makanan di desa atau kota itu, dan setelah selesai makan, meletakkan jubah dan mangkuknya, dan mencuci tangan dan kakinya, pada sore hari ia meletakkan alas duduknya pada bahunya dan pergi ke suatu tempat yang sunyi, ke kaki sebatang pohon, atau ke sebuah gubuk kosong. Ia mengatur alas duduknya dan duduk bersila, dengan menjaga tubuhnya tegak lurus, dengan pengamatan benar, dengan perhatian tidak terpencar. [Ia] melenyapkan keserakahan dan tidak memiliki ketamakan dalam pikirannya. Ketika melihat kekayaan dan cara penghidupan orang lain, ia tidak memunculkan keserakahan [seperti]: “Aku berharap aku dapat memperoleh [itu].”

“[Demikianlah] ia memurnikan pikirannya dari keserakahan. Sama halnya, [ia memurnikan pikirannya dari] kebencian … kelambanan dan kemalasan … kegelisahan dan kekhawatiran … [ia] melenyapkan keragu-raguan dan melampaui kebingungan sehubungan dengan keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat. [Demikianlah] ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. Setelah memotong lima rintangan ini, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, setelah meninggalkan keinginan, dan keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat … (dan seterusnya sampai dengan) … ia berdiam setelah mencapai jhāna keempat.

“Ketika ia telah mencapai konsentrasi dengan cara ini, pikirannya yang murni, tanpa cacat, bebas dari kekesalan, lunak, berkembang dengan baik, setelah mencapai ketenangan, ia mengarahkan pikirannya pada realisasi pengetahuan yang lebih tinggi tentang pelenyapan noda-noda.

“Ia kemudian mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan.” Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah munculnya penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan [menuju] lenyapnya penderitaan.” Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah noda-noda. Ini adalah munculnya noda-noda. Ini adalah lenyapnya noda-noda. Ini adalah jalan [menuju] lenyapnya noda-noda.” Ia mengetahuinya seperti ini.

“Melihatnya seperti ini, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indera, dari noda kelangsungan, dan dari noda ketidaktahuan. Terbebaskan, ia mengetahui bahwa ia terbebaskan, dan ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.” Ini seperti [dalam perumpamaan]: melihat kera itu, brahmana itu bertanya, “Selamat datang, kera, dari manakah engkau datang dan ke manakah engkau ingin pergi?” [Kera] menjawab, “Brahmana, aku pergi dari satu taman ke taman lainnya, dari satu taman hiburan ke taman hiburan lainnya, dari satu hutan ke hutan lainnya, untuk minum pada sumber mata air yang jernih dan makan buah-buahan yang baik. Aku ingin pergi sekarang, [walaupun] aku tidak takut dengan orang-orang.”

“Bhikkhu yang kukatakan adalah seperti itu. Oleh sebab itu, para bhikkhu, janganlah berperilaku seperti berang-berang itu, janganlah berperilaku seperti [burung] jiu-mu itu, janganlah berperilaku seperti burung bangkai itu, janganlah berperilaku seperti burung yang memakan muntahan itu, janganlah berperilaku seperti anjing hutan itu, janganlah berperilaku seperti burung gagak itu. [Kalian] seharusnya berperilaku seperti kera itu. Mengapa demikian? Di dunia ini seorang Manusia Sejati, tanpa kemelekatan, adalah bagaikan kera itu.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Karma JIgme

Instagram