Pages

MA 56 - 彌醯 [ Meghiya ]

Demikianlah telah kudengar:

 Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Magadha, dekat desa Jatu, dalam sebuah gua di hutan mangga liar yang sunyi.

Pada waktu itu Yang Mulia Meghiya adalah pelayan beliau. Suatu hari pagi-pagi sekali, Yang Mulia Meghiya mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki desa Jatu untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah selesai mengumpulkan dana makanan, ia pergi ke tepi sungai Kimikāḷā, di mana ia melihat suatu tempat yang rata yang disebut Hutan Mangga Baik.

Air [sungai] Kimikāḷā adalah menyenangkan, [berasal] dari suatu sumber mata air yang jernih dan dengan arus yang tenang, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Melihat hal ini, Yang Mulia Meghiya merasa gembira dan berpikir:

“Ini adalah suatu tempat yang rata yang disebut Hutan Mangga Baik. Di sini air [sungai] Kimikāḷā adalah menyenangkan, [berasal] dari suatu sumber mata air yang jernih dan dengan arus yang tenang, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Jika seorang anggota keluarga ingin berlatih pengerahan usaha, ia seharusnya berlatih pengerahan usaha [di sini] di tempat yang terasing ini.”

Pada sore hari Yang Mulia Meghiya, setelah menyelesaikan makannya dan meletakkan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, dan, dengan alas duduknya pada bahunya, mendekati Sang Buddha. Ia memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha], duduk pada satu sisi, dan berkata:

“Sang Bhagavā, pagi-pagi sekali hari ini aku mengenakan jubahku, membawa mangkuk, dan memasuki desa Jatu untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah selesai mengumpulkan dana makanan, aku pergi ke tepi sungai Kimikāḷā, di mana aku menemukan suatu tempat yang rata yang disebut Hutan Mangga Baik. Air [sungai] Kimikāḷā di sana adalah menyenangkan, [berasal] dari suatu sumber mata air yang jernih dan dengan arus yang tenang, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Melihat hal ini, aku merasa gembira dan berpikir:

“Ini adalah suatu tempat yang rata yang disebut Hutan Mangga Baik. Di sini air [sungai] Kimikāḷā adalah menyenangkan, [berasal] dari suatu sumber mata air yang jernih dan dengan arus yang tenang, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Jika seorang anggota keluarga ingin berlatih pengerahan usaha, ia seharusnya berlatih pengerahan usaha [di sini] di tempat yang terasing ini.

“Sang Bhagavā, aku sekarang ingin pergi ke hutan mangga yang terasing itu untuk berlatih pengerahan usaha.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata:

“Meghiya, tidakkah engkau tahu, aku sendirian di sini, dengan tanpa pelayan [selain engkau]. Tunggulah sebentar, sampai beberapa orang bhikkhu lain datang untuk melayani sebagai pelayanku, maka engkau dapat pergi ke hutan mangga yang terasing itu untuk berlatih.”

Tiga kali Yang Mulia Meghiya berkata: “Sang Bhagavā, aku sekarang ingin pergi ke hutan mangga yang terasing itu untuk berlatih pengerahan usaha.” Dan tiga kali Sang Bhagavā menjawab:

“Meghiya, tidakkah engkau tahu, aku sendirian di sini, dengan tanpa pelayan [selain engkau]. Tunggulah sebentar, sampai beberapa orang bhikkhu lain datang untuk melayani sebagai pelayanku, maka engkau dapat pergi ke hutan mangga yang terasing itu untuk berlatih.”

Kemudian Meghiya berkata:

“Bagi Sang Bhagavā tidak ada lagi yang dilakukan, tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang harus direnungkan. Namun, bagiku masih terdapat lagi yang dilakukan, terdapat lagi yang harus dilakukan, terdapat lagi yang harus direnungkan. Sang Bhagavā, aku akan pergi ke hutan mangga yang terasing itu untuk berlatih pengerahan usaha.”

Sang Bhagavā berkata: “Meghiya, karena engkau ingin berusaha keras, apa lagi yang dapat kukatakan? Pergilah, Meghiya, dan lakukan seperti yang engkau inginkan.”

Yang Mulia Meghiya, setelah mendengar perkataan Sang Buddha, menerimanya dengan baik, mengingatnya dengan baik, dan mengulanginya dengan baik. Ia memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilinginya tiga kali, dan pergi. Ia pergi ke hutan mangga itu dan setelah memasukinya, membentangkan alas duduknya di bawah sebatang pohon dan duduk bersila.

Ketika Yang Mulia Meghiya sedang duduk dalam hutan mangga itu tiga jenis pikiran yang buruk, tidak bermanfaat muncul dalam dirinya: pikiran nafsu, pikiran kebencian, dan pikiran menyakiti. Karena hal ini, ia teringat akan Sang Bhagavā.

Pada sore hari ia bangkit dari duduk bermeditasi, pergi menemui Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kakinya, dan duduk pada satu sisi. Ia berkata:

“Sang Bhagavā, aku pergi ke hutan mangga, dan ketika aku sedang duduk di tempat yang terasing itu tiga jenis pikiran yang buruk, tidak bermanfaat muncul dalam diriku: pikiran nafsu, pikiran kebencian, dan pikiran menyakiti. Karena itu, aku teringat akan Sang Bhagavā.”

Sang Bhagavā berkata:

“Meghiya, terdapat lima kondisi yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang. Apakah lima hal itu?

“Meghiya, seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik—ini, Meghiya, kondisi pertama yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang.

“Lagi, Meghiya, seorang bhikkhu menjalankan pelatihan dalam moralitas, menjaga [terhadap pelanggaran] aturan latihan, dan dengan terampil mengendalikan pembawaan dirinya [sesuai dengan] perilaku yang pantas, dengan melihat bahaya bahkan dalam pelanggaran kecil dan takut terhadapnya. Menjaga moralitas, Meghiya, adalah kondisi kedua yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang.

“Lagi, Meghiya, seorang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan tentang hal-hal yang mulia, bermakna, hal-hal yang menyebabkan pikiran menjadi lembut, menyebabkannya menjadi tanpa rintangan, yaitu, pembicaraan tentang moralitas, tentang konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, pengetahuan dan penglihatan yang muncul dengan pembebasan, pembicaraan tentang pelenyapan-diri, tentang tidak menikmati bersosialisasi, tentang mengurangi keinginan, tentang kepuasan, ditinggalkannya, kebosanan, padamnya, duduk bermeditasi, dan tentang kemunculan bergantungan.

“Memperoleh, dengan cara ini, [jenis] pembicaraan yang pantas untuk para pertapa itu, dengan sepenuhnya, mudah, tanpa kesulitan—ini, Meghiya, adalah kondisi ketiga yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang.

“Lagi, Meghiya, seorang bhikkhu mengerahkan usaha tanpa kenal lelah untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan untuk mengembangkan semua keadaan bermanfaat. Ia terus-menerus memunculkan kehendak yang berfokus pada satu hal dan kokoh untuk mengembangkan akar-akar bermanfaat, tanpa melepaskan tugasnya.

“Ini, Meghiya, adalah kondisi keempat yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang.

“Lagi, Meghiya, seorang bhikkhu mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan, mencapai pemahaman sehubungan dengan muncul dan lenyapnya fenomena, mencapai pengetahuan mulia yang menembus dan pemahaman yang membedakan sehubungan dengan pelenyapan sejati penderitaan.

“Ini, Meghiya, adalah kondisi kelima yang mendukung yang kondusif pada matangnya pembebasan pikiran yang belum matang.

“Ketika diberkahi dengan lima kondisi ini, [seorang bhikkhu] seharusnya berlatih lebih lanjut dengan empat cara.

“Apakah empat cara itu? Ia berlatih meditasi pada kejijikan [terhadap tubuh] untuk memotong keinginan. Ia berlatih meditasi cinta-kasih untuk memotong kebencian. Ia berlatih perhatian terhadap pernapasan untuk memotong pikiran-pikiran kacau. Ia berlatih persepsi ketidakkekalan untuk memotong kesombongan “aku”.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik, maka ketahuilah bahwa ia terikat untuk menjalankan pelatihan dalam moralitas, menjaga [terhadap pelanggaran] aturan latihan, dan dengan terampil mengendalikan pembawaan dirinya [sesuai dengan] perilaku yang pantas, dengan melihat bahaya bahkan dalam pelanggaran kecil dan takut terhadapnya.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik, maka ketahuilah bahwa ia terikat untuk berbicara tentang hal-hal yang mulia, bermakna, hal-hal yang menyebabkan pikiran menjadi lembut, menyebabkannya menjadi tanpa rintangan, yaitu, pembicaraan tentang moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan yang muncul dengan pembebasan, pembicaraan tentang pelenyapan-diri, tentang tidak menikmati bersosialisasi, tentang mengurangi keinginan, tentang kepuasan, ditinggalkannya, kebosanan, padamnya, tentang duduk bermeditasi, dan tentang kemunculan bergantungan. Ia akan dapat, dengan cara ini, memperoleh [jenis] pembicaraan yang pantas untuk para pertapa, dengan sepenuhnya, dengan mudah, tanpa kesulitan.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik, maka ketahuilah bahwa ia terikat untuk mengerahkan usaha tanpa kenal lelah untuk memotong apa yang tidak bermanfaat dan berlatih semua keadaan bermanfaat. Ia akan terus-menerus memunculkan kehendak yang berfokus pada satu hal dan kokoh untuk mengembangkan akar-akar bermanfaat tanpa melepaskan tugasnya.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik, maka ketahuilah bahwa ia terikat untuk mengembangkan kebijaksanaan. Ia mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan, mencapai pemahaman sehubungan dengan muncul dan lenyapnya fenomena, mencapai pengetahuan mulia yang menembus dan pemahaman yang membedakan sehubungan dengan pelenyapan sejati penderitaan.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu itu sendiri seorang teman baik [untuk orang lain] dan bergaul dengan teman-teman baik, berkumpul dengan teman-teman baik, maka ketahuilah bahwa ia terikat untuk berlatih meditasi pada kejijikan [terhadap tubuh] untuk memotong keinginan. Ia akan berlatih meditasi cinta-kasih untuk memotong kebencian. Ia akan berlatih perhatian pada pernapasan untuk memotong pikiran-pikiran kacau. Ia akan berlatih persepsi ketidakkekalan untuk memotong kesombongan “aku”.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu telah memperoleh persepsi ketidakkekalan, ia terikat untuk mencapai persepsi bukan-diri.

“Meghiya, jika seorang bhikkhu mencapai kesadaran bukan-diri, ia terikat untuk sepenuhnya meninggalkan kesombongan “aku” dalam masa kehidupan ini, untuk mencapai kedamaian, lenyapnya, padamnya, yang tidak berkondisi, nirvana.”

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Meghiya dan para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Karma JIgme

Instagram