Pages

MA 27 - 梵志陀然 [ Dhānañjāni]

Demikianlah telah kudengar: 
Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai, di mana beliau sedang menjalankan pengasingan musim hujan bersama-sama dengan sekumpulan besar para bhikkhu. Pada waktu itu, Yang Mulia Sāriputta sedang berada di Sāvatthī, juga menjalankan pengasingan musim hujan.
Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu yang, setelah menyelesaikan tiga bulan pengasingan musim hujan pada Rājagaha, dan setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, dan meninggalkan Rājagaha menuju Sāvatthī, untuk berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Bhikkhu itu mendekati Yang Mulia Sāriputta dan, setelah memberikan penghormatan pada kakinya, duduk pada satu sisi.
Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Dari manakah engkau datang, teman yang mulia? Di manakah engkau menjalankan pengasingan musim hujan?”
Bhikkhu itu menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, aku datang dari Rājagaha, aku menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan Sang Bhagavā, yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah beliau sehat dan kuat? Apakah beliau nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah beliau berdiam dengan tenang, dan apakah kekuatan beliau seperti biasanya?”
Bhikkhu itu menjawab:
“Ya, Yang Mulia Sāriputta. Sang Bhagavā, yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, sehat dan kuat, beliau nyaman dan bebas dari penyakit, beliau berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?”
[Bhikkhu itu] menjawab:
“Ya, Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu dan bhikkhuni yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan para pengikut awam pria dan wanita yang tinggal di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?”
[Bhikkhu itu] menjawab:
“Ya, Yang Mulia Sāriputta. Para pengikut awam pria dan wanita yang tinggal di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan berbagai pertapa non-Buddhis dan para brahmana yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha, apakah mereka sehat dan kuat? Apakah mereka nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah mereka berdiam dengan tenang, dan kekuatan mereka seperti biasanya? Apakah mereka sering menemui Sang Buddha dan apakah mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma?”
[Bhikkhu itu] menjawab:
“Ya, Yang Mulia Sāriputta. Berbagai pertapa non-Buddhis dan para brahmana yang telah menjalankan pengasingan musim hujan di Rājagaha sehat dan kuat, mereka nyaman dan bebas dari penyakit, mereka berdiam dengan tenang dan kekuatan mereka seperti biasanya. Mereka sering menemui Sang Buddha dan mereka bergembira dalam mendengarkan Dharma.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Teman yang mulia, terdapat di Rājagaha seorang brahmana bernama Dhānañjāni. Ia adalah seorang temanku sebelum aku meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu. Apakah engkau mengenalnya?”
[Bhikkhu itu] menjawab: “Aku mengenalnya.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan brahmana Dhānañjāni dari Rājagaha ini, apakah ia sehat dan kuat? Apakah ia nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah ia berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya? Apakah ia sering menemui Sang Buddha dan apakah ia bergembira dalam mendengarkan Dharma?”
[Bhikkhu itu] menjawab:
“Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni dari Rājagaha sehat dan kuat, ia nyaman dan bebas dari penyakit, ia berdiam dengan tenang, dan kekuatannya seperti biasanya. [Namun,] ia tidak berkeinginan menemui Sang Buddha dan ia tidak bergembira dalam mendengarkan Dharma.
“Mengapa demikian? Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni tidak berusaha dan telah melanggar aturan moralitas. Dengan bergantung pada hubungannya dengan raja, ia menipu para brahmana dan perumah tangga; dan bergantung pada hubungannya dengan para brahmana dan perumah tangga, ia menipu raja.”
Mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta, setelah menyelesaikan tiga bulan pengasingan musim hujan di Sāvatthī dan setelah menambal jubahnya, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan meninggalkan Sāvatthī menuju Rājagaha, di mana ia berdiam di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.
Kemudian pada pagi hari, setelah menghabiskan malam di sana, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan pergi ke Rājagaha untuk mengumpulkan makanan, dengan pergi dari pintu ke pintu. Setelah mengumpulkan makanan, ia pergi ke rumah brahmana Dhānañjāni. Pada waktu itu, brahmana Dhānañjāni keluar dari rumahnya, dan sedang berada di sisi sumber mata air, dengan kasar menghukum beberapa penduduk setempat.
Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, brahmana Dhānañjāni bangkit dari tempat duduknya, memperlihatkan bahu [kanan]nya, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Yang Mulia Sāriputta, dan menyatakan kegembiraannya: “Selamat datang, Sāriputta! Sudah lama sekali sejak engkau datang ke sini, Sāriputta.” Kemudian, dengan penuh hormat membawa Yang Mulia Sāriputta dengan lengannya, brahmana Dhānañjāni membawanya ke dalam rumahnya. Ia mempersiapkan tempat duduk yang bagus dan mengundang Yang Mulia Sāriputta untuk duduk. Yang Mulia Sāriputta kemudian duduk pada tempat duduk itu. Ketika brahmana Dhānañjāni melihat bahwa Yang Mulia Sāriputta duduk, ia membawakannya sebuah mangkuk emas untuk mencuci [tangannya] dan mengundangnya untuk makan.
Yang Mulia Sāriputta berkata: “Cukup, cukup, Dhānañjāni, tenangkan pikiranmu.”
Kedua dan ketiga kalinya brahmana Dhānañjāni mengulangi undangannya, dan kedua dan ketiga kalinya Yang Mulia Sāriputta menolak, dengan berkata: “Cukup, cukup, Dhānañjāni, tenangkan pikiranmu.”
Kemudian brahmana Dhānañjāni bertanya: “Sāriputta, mengapa masuk ke dalam rumah seperti ini dan kemudian menolak untuk makan?”
Yang Mulia Sāriputta menjawab:
“Dhānañjāni, [aku mendengar bahwa] engkau tidak berusaha dan telah melanggar aturan-aturan moralitas. Bergantung pada hubunganmu dengan raja, engkau menipu para brahmana dan perumah tangga, dan bergantung pada hubunganmu dengan para brahmana dan perumah tangga, engkau menipu raja.”
Brahmana Dhānañjāni menjawab:
“Sāriputta, engkau mengetahui bahwa, sebagai seorang perumah tangga sekarang, aku harus mengurus urusan rumah tangga. Aku harus menjaga kenyamanan dan kesejahteraanku sendiri, menyokong orang tuaku, menjaga istri dan anak-anakku, menyediakan [makanan] untuk pelayan laki-laki dan perempuanku, membayar pajak kepada raja, mengadakan upacara untuk para dewa, membuat persembahan kepada para leluhur yang telah meninggal, dan memberi kepada para pertapa dan brahmana—agar dapat hidup panjang dan kemudian terlahir kembali di surga dan memperoleh buah karma yang menyenangkan. Sāriputta, semua urusan ini tidak dapat diabaikan, yang diperintahkan dalam aturan [kebiasaan].”
Yang Mulia Sāriputta berkata:
“Dhānañjāni, biarkanlah aku menanyakanmu suatu pertanyaan. Jawablah sebaik yang engkau bisa. Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan orang tuanya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan hanya demi kepentingan orang tuaku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”
[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”
Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:
“Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan istri dan anak-anaknya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan istri dan anak-anakku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”
[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”
Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:
“Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan para pelayannya. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan pelayan laki-laki dan perempuanku.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”
[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”
Yang Mulia Sāriputta bertanya lebih lanjut:
“Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni? Seumpamanya, lagi, bahwa seseorang melakukan kejahatan demi kepentingan raja, para dewa, para leluhur yang telah meninggal, dan para pertapa dan brahmana. Setelah melakukan kejahatan, ia pergi, ketika hancurnya tubuh saat kematian, menuju alam kehidupan yang buruk, dengan terlahir kembali di neraka. Ketika terlahir kembali di neraka, ia dibawa oleh para petugas neraka untuk menjalani hukuman yang kejam. Ia memohon kepada para petugas neraka: “Para petugas neraka, biarkan aku memberitahu kalian! Janganlah menghukumku! Mengapa? Karena aku melakukan kejahatan demi kepentingan raja, para dewa, para leluhur yang telah meninggal, dan para pertapa dan brahmana.” Apakah yang engkau pikirkan, Dhānañjāni, apakah orang itu akan dapat lolos dari hukuman oleh para petugas neraka [dengan memohon demikian]?”
[Dhānañjāni] menjawab: “Tidak.”
Sāriputta berkata:
“Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati, menghargai, dan menyokong orang tuanya, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati, menghargai, dan menyokong orang tuanya, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat—ia dipikirkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tuanya, yang berkata: “Semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kedamaian dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dipikirkan dengan penuh kasih sayang demikian oleh orang tuanya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.
“Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga istri dan anak-anaknya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan [berbuat] karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga istri dan anak-anaknya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat—maka ia dihormati dan dihargai oleh istri dan anak-anaknya, yang berkata: “Tuanku, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [aku mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, aku memiliki kesejahteraan dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dihormati dan dihargai demikian oleh istri dan anak-anaknya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.
“Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh cinta menjaga para pelayan laki-laki dan perempuannya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk dengan penuh belas kasih menyediakan [makanan] untuk para pelayan laki-laki dan perempuannya dan menjaga kesejahteraan mereka, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat—maka ia dihormati dan dihargai oleh para pelayannya, yang berkata: “Tuan, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kesejahteraan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dihormati dan dihargai demikian oleh para pelayannya, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.
“Dhānañjāni, seorang anggota keluarga dapat memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati dan menyokong para pertapa dan brahmana, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat. Dhānañjāni, jika seorang anggota keluarga memperoleh kekayaan dengan cara yang sesuai dengan Dharma, sesuai dengan karma [baik], dan sesuai dengan moralitas, untuk menghormati dan menyokong para pertapa dan brahmana, dengan demikian melakukan perbuatan berjasa dan menghindari diri dari perbuatan tidak bermanfaat—maka ia dipikirkan dengan penuh kasih sayang oleh para pertapa dan brahmana, yang berkata: “Pendana, semoga engkau memiliki kesehatan yang baik dan berumur panjang! Mengapa [kami mengatakan hal ini]? Karena berkat dirimu, kami memiliki kesejahteraan dan kebahagiaan.” Dhānañjāni, bagi seseorang yang dipikirkan dengan penuh kasih sayang demikian oleh para pertapa dan brahmana, jasa-jasa meningkat dan tidak berkurang.”
Kemudian, brahmana Dhānañjāni bangkit dari tempat duduknya, memperlihatkan bahu kanannya, menyatukan telapak tangannya [untuk menghormat] kepada Yang Mulia Sāriputta, dan berkata:
“Sāriputta, aku memiliki seorang istri bernama Cantik, yang sangat aku sayangi. Karena telah terperdaya olehnya, aku menjadi lalai dan melakukan banyak perbuatan jahat. Sāriputta, sejak hari ini, aku akan melepaskan diriku dari istriku Cantik dan [alih-alih] mengambil perlindungan kepadamu, Yang Mulia Sāriputta.”
Yang Mulia Sāriputta menjawab: “Dhānañjāni, jangan mengambil perlindungan kepadaku. Engkau seharusnya mengambil perlindungan kepada Sang Buddha, di mana aku sendiri mengambil perlindungan kepadanya.”
Brahmana Dhānañjāni menyatakan:
“Yang Mulia Sāriputta, sejak hari ini, aku mengambil perlindungan kepada Buddha, Dharma, dan komunitas para bhikkhu. Semoga Yang Mulia Sāriputta menerimaku sebagai seorang pengikut awam Sang Buddha, setelah mengambil perlindungan seumur hidup, sampai mati.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta mengajarkan Dharma kepada brahmana Dhānañjāni. Dengan menasehati, mendorong, dan menggembirakannya, Sāriputta menggunakan tak terhitung cara terampil untuk mengajarkan Dharma. Setelah menasehati, mendorong, dan menggembirakan [Dhānañjāni], [Sāriputta] bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Rājagaha. Setelah tinggal beberapa hari, [Sāriputta] mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan meninggalkan Rājagaha menuju Pegunungan Selatan. Ia berdiam di sebuah hutan kayu keras (simsapa), [yang terletak] di sebelah utara sebuah desa di Pegunungan Selatan.
Pada waktu itu, seorang bhikkhu tertentu yang sedang berdiam di Rājagaha, setelah berdiam di sana selama beberapa hari, mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya dan [juga] meninggalkan Rājagaha menuju Pegunungan Selatan. Ia [juga] berdiam di hutan kayu keras (simsapa), [yang terletak] di sebelah utara sebuah desa di Pegunungan Selatan.
Kemudian bhikkhu itu mendekati Yang Mulia Sāriputta dan, setelah memberikan penghormatan pada kakinya, duduk pada satu sisi.
Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Teman yang mulia, dari manakah engkau datang? Di manakah engkau berdiam?”
Bhikkhu itu menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, aku datang dari Rājagaha. Aku berdiam di Rājagaha.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Teman yang mulia, di Rājagaha terdapat seorang brahmana bernama Dhānañjāni, seorang temanku sebelum aku meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu. Apakah engkau mengenalnya?”
Bhikkhu itu menjawab: “Aku mengenalnya.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut:
“Teman yang mulia, sehubungan dengan brahmana Dhānañjāni yang tinggal di Rājagaha, apakah ia sehat dan kuat? Apakah ia nyaman dan bebas dari penyakit? Apakah ia berdiam dengan tenang dan kekuatannya seperti biasanya? Apakah ia sering menemui Sang Buddha dan apakah ia bergembira dalam mendengarkan Dharma?”
Bhikkhu itu menjawab:
“Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni berkeinginan sering menemui Sang Buddha dan ia berkeinginan untuk mendengarkan Dharma. Namun, ia tidak sehat dan kekuatannya berkurang. Mengapa demikian?
“Yang Mulia Sāriputta, brahmana Dhānañjāni saat ini sedang menderita sakit. Ia sakit parah dan dalam kondisi yang kritis dan oleh sebab itu dapat meninggal [segera].”
Setelah mendengar hal ini, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, dan meninggalkan Pegunungan Selatan menuju Rājagaha, [di mana] ia berdiam di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai.
Setelah melewati malam di sana, saat fajar Yang Mulia Sāriputta, dengan mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya, pergi menuju rumah brahmana Dhānañjāni. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekati dari kejauhan, brahmana Dhānañjāni berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya. Melihat brahmana Dhānañjāni berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, Yang Mulia Sāriputta menghentikannya, dengan berkata: “Tetaplah berbaring, Dhānañjāni! Jangan bangun! Terdapat tempat tidur lain di sini. Aku akan duduk di sana.”
Kemudian, setelah duduk pada tempat tidur lain itu, Yang Mulia Sāriputta bertanya: “Dhānañjāni, bagaimanakah penyakitmu sekarang? Seberapa banyak engkau makan dan minum? Apakah penyakitmu berkurang, tidak meningkat?”
Dhānañjāni menjawab:
“Penyakitku semakin parah. Aku tidak dapat makan atau minum. Penyakitku meningkat, tidak berkurang.
“Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit kepala yang sangat parah seakan-akan seseorang yang kuat memotong kepalaku dengan sebuah pisau, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit kepala yang sangat parah seakan-akan seseorang yang kuat terus-menerus mengencangkan seutas tali di sekeliling kepalaku, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, aku sekarang menderita sakit perut yang sangat parah seakan-akan seorang tukang jagal memotong untuk membukanya, seperti perut seekor sapi hidup, dengan sebuah pisau yang tajam, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Yang Mulia Sāriputta, seluruh tubuhku sedemikian sakitnya seakan-akan dua orang yang kuat mencengkeram seseorang yang lemah dan memanggangnya di atas api, yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Demikianlah rasa sakit yang kualami; dan rasa sakit itu meningkat, bukan berkurang.”
Yang Mulia Sāriputta berkata:
“Dhānañjāni, biarkanlah aku menanyakanmu suatu pertanyaan. Jawablah sebaik yang engkau bisa. Apakah yang engkau pikirkan, brahmana Dhānañjāni? Manakah yang lebih baik, neraka atau [alam] binatang?”
Dhānañjāni menjawab: “[Alam] binatang adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] binatang atau [alam] hantu kelaparan?”
Dhānañjāni menjawab: “[Alam] hantu kelaparan adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] hantu kelaparan atau [alam] manusia?”
Dhānañjāni menjawab: “[Alam] manusia adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, [alam] manusia atau surga empat raja [dewa]?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga empat raja [dewa] adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga empat raja [dewa] atau surga tiga-puluh-tiga [dewa]?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga tiga-puluh-tiga [dewa] adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga tiga-puluh-tiga [dewa] atau surga Yama?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga Yama adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga Yama atau surga Tusita?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga Tusita adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga Tusita atau [surga] para dewa yang menikmati dalam penciptaan?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga para dewa yang menikmati dalam penciptaan adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga para dewa yang menikmati dalam penciptaan atau [surga] para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain?”
Dhānañjāni menjawab: “Surga para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain adalah lebih baik.”
[Sāriputta] bertanya lebih lanjut: “Dhānañjāni, manakah yang lebih baik, surga para dewa yang menguasai ciptaan [para dewa] yang lain atau alam Brahmā?”
Dhānañjāni menjawab: “Alam Brahmā adalah yang tertinggi! Alam Brahmā adalah yang tertinggi!”
Yang Mulia Sāriputta berkata:
“Dhānañjāni, Sang Bhagavā, yang diberkahi pengetahuan dan penglihatan, Sang Tathāgata, yang tanpa kemelekatan dan tercerahkan sempurna, telah mengajarkan empat kediaman luhur. Dengan melatihnya terus-menerus, seorang pengikut awam laki-laki atau perempuan dapat memotong keinginan indera, meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera, dan, dengan hancurnya tubuh saat kematian, akan terlahir kembali di alam Brahmā. Apakah empat hal itu?
“Dhānañjāni, di sini seorang siswa mulia yang terpelajar dengan pikirannya dipenuhi dengan cinta-kasih, berdiam [dengan batin] meliputi satu arah, seperti juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya dan juga atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana-mana. Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Dengan cara yang sama, ia memenuhi pikirannya dengan belas kasih, dengan kegembiraan empatik, dengan keseimbangan, dan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa kebencian atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran yang] tak terbatas, mulia, tak terukur, dan berkembang dengan baik.
“Ini, Dhānañjāni, adalah ajaran tentang empat kediaman luhur yang telah diajarkan Sang Bhagavā, yang diberkahi dengan pengetahuan dan penglihatan, Sang Tathāgata, yang tanpa kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Dengan melatih [empat kediaman luhur ini] terus-menerus, seorang pengikut awam laki-laki atau perempuan dapat melenyapkan keinginan indera dan meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera dan, dengan hancurnya tubuh saat kematian, akan terlahir kembali di alam Brahmā.”
Setelah mengajarkan Dhānañjāni ajaran-ajaran yang berhubungan dengan alam Brahmā, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari tempat duduknya dan pergi.
Setelah Yang Mulia Sāriputta meninggalkan Rājagaha dan sebelum ia tiba di Hutan Bambu, Tempat Perlindungan Tupai, ketika ia masih berada di antara [dua tempat ini], brahmana Dhānañjāni, yang telah berlatih empat kediaman luhur dan meninggalkan keinginan indera dan meninggalkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan keinginan indera, dengan hancurnya tubuh saat kematian, terlahir kembali di alam Brahmā.
Pada waktu itu, Sang Bhagavā sedang mengajar, dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Melihat Yang Mulia Sāriputta mendekat dari kejauhan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu [dalam perkumpulan itu]:
“Bhikkhu Sāriputta diberkahi dengan kebijaksanaan yang cemerlang, kebijaksanaan yang cepat, kebijaksanaan yang lincah, kebijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang mendalam, kebijaksanaan yang membawa pembebasan, kebijaksanaan yang menembus, kebijaksanaan yang mengesankan. Bhikkhu Sāriputta telah mencapai kebijaksanaan sejati. Bhikkhu Sāriputta ini baru saja mengajarkan brahmana Dhānañjāni suatu ajaran tentang alam Brahmā. Jika ia mengajarkannya lebih lanjut, [Dhānañjāni] akan dengan cepat merealisasi Dharma sesuai dengan Dharma.”
Kemudian, Yang Mulia Sāriputta mendekati Sang Buddha dan, setelah memberikan penghormatan pada kaki beliau, duduk pada satu sisi.
Sang Bhagavā berkata:
“Sāriputta, mengapa engkau tidak mengajarkan brahmana Dhānañjāni ajaran tentang melampaui alam Brahmā? Jika engkau telah mengajarkannya lebih lanjut, ia akan dengan cepat merealisasi Dharma sesuai dengan Dharma.”
Yang Mulia Sāriputta menjawab:
“Sang Bhagavā, para brahmana itu sejak waktu yang lama telah melekat pada alam Brahmā, mereka menyenangi alam Brahmā, [menganggap] alam Brahmā sebagai yang tertinggi, menjunjung tinggi alam Brahmā, [menganggap] alam Brahmā sebagai yang [benar-benar] nyata, dan menganggap alam Brahmā sebagai ada untuk mereka. Karena alasan ini, Sang Bhagavā, aku bertindak sesuai dengan keinginan [Dhānañjāni].”
Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, Yang Mulia Sāriputta dan perkumpulan tak terhitung ratusan ribu orang bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Karma JIgme

Instagram