Pages

MA 61 - 牛糞喻 [ Perumpamaan Kotoran Sapi]

Demikianlah telah kudengar: 

Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu, seorang bhikkhu, yang sedang duduk bermeditasi dengan merenung di suatu tempat yang sunyi, memiliki pemikiran ini:

“Apakah terdapat bentuk apa pun yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya? Apakah terdapat perasaan apa pun, persepsi apa pun, bentukan kehendak apa pun, kesadaran apa pun yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya?”

Kemudian, pada malam hari, bhikkhu itu bangkit dari duduk bermeditasi, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya [pada kaki Sang Buddha], dan duduk pada satu sisi. Ia berkata:

“Sang Bhagavā, hari ini aku duduk bermeditasi di suatu tempat yang sunyi, dengan merenungkan, dan aku memiliki pemikiran ini:

“Apakah terdapat bentuk materi apa pun yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya? Apakah terdapat perasaan apa pun, persepsi apa pun, bentukan kehendak apa pun, kesadaran apa pun yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya?”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu:

“Tidak ada bentuk materi yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya. Tidak ada perasaaan, tidak ada persepsi, tidak ada bentukan kehendak, tidak ada kesadaran yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya.”

Kemudian Sang Bhagavā mengambil sedikit kotoran sapi dengan kuku jarinya, dan berkata, “Bhikkhu, apakah engkau melihat sedikit kotoran sapi yang telah aku ambil dengan kuku jariku?”

Bhikkhu itu berkata, “Ya, Sang Bhagavā. Aku melihatnya.”

Sang Buddha lebih lanjut berkata kepada bhikkhu itu:

“[Sekecil ini], tidak ada bahkan sedemikian kecil jumlah bentuk materi yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya. [Sekecil ini], tidak ada bahkan sedemikian kecil jumlah perasaan, persepsi, bentukan kehendak, kesadaran yang kekal dan tidak berubah, sepenuhnya menyenangkan, dan ada selamanya.

“Mengapa demikian? Bhikkhu, aku ingat bagaimana, pada masa lampau yang jauh, aku berlatih perbuatan-perbuatan berjasa selama waktu yang lama. Setelah berlatih perbuatan-perbuatan berjasa selama waktu yang lama, aku mengalami akibat yang menyenangkan selama waktu yang lama. Bhikkhu, [karena] pada masa lampau yang jauh aku telah berlatih cinta-kasih selama tujuh tahun, aku tidak datang [terlahir] ke dunia ini selama tujuh masa kemunculan dan kehancuran semesta.

“Ketika dunia menuju kehancuran, aku terlahir di surga bercahaya. Ketika dunia muncul [kembali], aku turun untuk terlahir di suatu istana Brahmā yang kosong. Di antara para Brahmā [di sana] aku adalah Maha Brahmā, yang menjadi raja surgawi yang tercipta-dengan-sendirinya atas tempat-tempat lainnya selama seribu masa semesta. [Lagi,] aku adalah Sakka, raja para dewa, selama tiga-puluh-enam masa semesta, dan aku adalah raja khattiya Mandhātu selama tak terhitung masa semesta.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu ekor gajah besar, yang dilengkapi dengan perlengkapan kereta yang bagus, dihiasi dengan berbagai harta karun, dengan mutiara putih dan giok, di mana gajah utamanya adalah gajah kerajaan, Uposatha.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu ekor kuda yang dilengkapi dengan perlengkapan kereta yang bagus, dihiasi dengan berbagai harta karun, emas dan perak yang dijalin dengan giok, di mana kuda utamanya adalah kuda kerajaan, Valāhaka.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat kereta, yang dihiasi dengan empat jenis hiasan dan berbagai barang yang indah, seperti kulit singa, macan, dan macan tutul, yang ditenun dengan hiasan dengan berbagai warna dan berbagai hiasan, kereta yang sangat cepat, di mana kereta utamanya adalah kereta Vejayanta.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu kota, yang sangat besar dan menyenangkan, dengan banyak penduduk, di mana kota utamanya adalah Kusāvatī.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu bangunan yang bertingkat banyak, yang terbuat dari empat jenis barang berharga, emas, perak, beril, dan kristal, di mana bangunan utamanya adalah Aula Sudhamma.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu tahta, yang terbuat dari empat jenis barang berharga, emas, perak, beril, dan kristal, dan dilapisi dengan kain wol, ditutupi dengan brokat dan kain sutra yang bagus, dengan selimut yang berlapis dan dilapisi dengan kapas, dan dengan bantal [yang terbuat dari] kulit rusa pada kedua ujungnya.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu setel pakaian: pakaian dari rami, pakaian dari brokat, pakaian dari sutra, pakaian dari katun, dan pakaian dari kulit rusa.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu orang wanita, yang masing-masing dengan tubuh yang sangat bagus, jernih, cerah, segar, dengan kecantikan yang luar biasa, melampaui [kecantikan] manusia, [kecantikan] hampir surgawi, kecantikan mulia yang menggembirakan mereka yang melihatnya, dihiasi dengan berbagai harta karun dan kalung dari giok dan mutiara untuk perhiasan yang mulia, para wanita khattiya murni, dan juga tak terhitung wanita dari kasta lain.

“Bhikkhu, ketika aku adalah raja khattiya Mandhātu, aku memiliki delapan-puluh-empat ribu jenis makanan, yang dihidangkan siang dan malam terus-menerus bagiku untuk dimakan ketika aku menginginkannya.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu jenis makanan terdapat satu yang secara khusus enak dan segar, dengan berbagai rasa, yang aku sering makan.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu wanita terdapat seorang wanita khattiya, yang paling mulia dan cantik, yang sering menungguku.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu setel pakaian terdapat satu setel, dari rami atau brokat atau sutra atau katun atau kulit rusak, yang aku sering pakai.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu tahta terdapat satu tahta, dari emas atau perak atau beril atau kristal, yang dilapisi dengan kain wol, ditutupi dengan brokat dan kain sutra yang bagus, dengan selimut yang berlapis dan dilapisi dengan kapas, dan dengan bantal [yang terbuat dari] kulit rusa pada kedua ujungnya, di mana aku sering duduk.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu bangunan bertingkat banyak, terdapat satu [yang terbuat dari] emas atau perak atau beril atau kristal, disebut Aula Sudhamma, di mana aku sering tinggal.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu kota terdapat satu, yang sangat makmur dan menyenangkan, dengan banyak penduduk, bernama Kusāvatī, di mana aku sering berdiam.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu kereta terdapat satu, yang dihiasi dengan berbagai benda yang indah seperti kulit singa, macan, dan macan tutul, yang ditenun dengan rancangan dari berbagai warna, sebuah kereta yang sangat cepat, bernama Vejayanta, yang sering aku kendarai ketika mengunjungi taman-taman hiburan.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu ekor kuda terdapat satu, dengan tubuh kebiruan dan kepala seperti sapi, kuda kerajaan bernama Valāhaka yang sering aku tunggangi ketika mengunjungi taman-taman hiburan.

“Bhikkhu, dari delapan-puluh-empat ribu ekor gajah terdapat satu yang seluruh tubuhnya sangat putih dan tujuh bagian [tubuh]-nya sempurna, gajah kerajaan bernama Uposatha yang sering aku tunggangi ketika mengunjungi taman-taman hiburan.

“Bhikkhu, aku berpikir:

“Buah dan akibat dari jenis perbuatan apakah yang menyebabkanku diberkahi hari ini dengan kekuatan batin besar, kebajikan besar dan hebat, jasa besar, kekuatan besar dan hebat [demikian]?

“Bhikkhu, aku berpikir lagi:

“Buah dan akibat dari tiga jenis perbuatan menyebabkanku diberkahi hari ini dengan kekuatan batin besar, kebajikan besar dan hebat, jasa besar, kekuatan besar dan hebat [demikian]. Yang pertama adalah pemberian yang bermurah hati, kedua disiplin-diri, dan ketiga pengendalian [diri].

“Renungkanlah ini, bhikkhu: Semua itu, keseluruhannya, akan lenyap. Kekuatan batin juga lenyap. Apakah yang engkau pikirkan, bhikkhu? Apakah bentuk materi kekal atau tidak kekal?”

[Bhikkhu itu] menjawab, “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut, “Jika ia tidak kekal, apakah ia adalah penderitaan atau bukan penderitaan?”

[Bhikkhu itu] menjawab, “Ia adalah penderitaan, [karena] ia berubah, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut, “Jika ia tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar akan menganggapnya sebagai ‘Ini adalah aku, ini adalah milikku, atau aku milik itu’?”

[Bhikkhu itu] menjawab, “Tidak, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut, “Apakah yang engkau pikirkan, bhikkhu? Apakah perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran kekal atau tidak kekal?

[Bhikkhu itu] menjawab, “Mereka tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut, “Jika mereka tidak kekal, apakah mereka adalah penderitaan atau bukan penderitaan?”

[Bhikkhu itu] menjawab, “Mereka adalah penderitaan, karena mereka berubah, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lebih lanjut:

“Jika mereka tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar akan menganggapnya sebagai ‘Ini adalah aku, ini adalah milikku, atau aku milik itu’?”

[Bhikkhu itu] menjawab, “Tidak, Sang Bhagavā.”

Sang Buddha berkata:

“Oleh sebab itu, bhikkhu, engkau seharusnya berlatih seperti ini:

“Apa pun bentuk materi, apakah masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, baik atau buruk, dekat atau jauh—semua itu seharusnya dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan demikian: semua itu buka aku, itu bukan milikku, aku bukan milik itu.

“Apa pun perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran, apakah masa lampau, masa depan, atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, baik atau buruk, dekat atau jauh—semua itu seharusnya dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan demikian: semua itu bukan aku, itu bukan milikku, aku bukan milik itu.

“Jika, bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan dengan cara ini, ia menjadi kecewa dengan bentuk materi, ia menjadi kecewa dengan perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran. Dengan menjadi kecewa, ia menjadi bosan. Setelah menjadi bosan, ia terbebaskan. Setelah terbebaskan, ia mengetahui bahwa ia terbebaskan. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Kemudian bhikkhu itu, setelah mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, menerimanya dengan baik dan menyimpannya [dalam pikiran]. Ia bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengelilinginya tiga kali dan pergi.

Setelah menerima pengajaran Sang Buddha, bhikkhu itu tinggal sendiri di suatu tempat yang sunyi dan berlatih dengan tekun, tanpa lalai. Setelah tinggal di tempat yang sunyi dan berlatih dengan tekun, tanpa lalai—ia mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci, demi kepentingan di mana seorang anggota keluarga mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan.

Dalam kehidupan itu juga, ia dengan diri sendiri mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah dengan diri sendiri mencapai realisasi. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan ada kelangsungan lain.”

Demikianlah bhikkhu itu, setelah memahami Dharma (dan seterusnya sampai dengan), menjadi seorang Arahant.

Ini adalah apa yang dikatakan Sang Buddha. Setelah mendengarkan perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik.

Karma JIgme

Instagram