Pages

SN 22 Khandha Saṃyutta


Nakulapitu Vagga


SN 22.1 : Nakulapitu Sutta [Nakulapitā ]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Bhagga di Suṃsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa. Kemudian perumah tangga Nakulapitā mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Aku sudah tua, Yang Mulia, jompo, terbebani dengan tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, menderita dalam tubuh, sering sakit. Aku jarang menemui Bhagavā dan para bhikkhu yang layak dihormati. Sudilah Bhagavā menasihatiku, Sudilah Beliau mengajariku, karena itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanku dalam waktu yang lama.”

“Memang demikian, perumah tangga, memang demikian! Tubuhmu menderita, membungkuk, terbebani. Jika siapa pun yang membawa tubuh ini mengaku sehat bahkan selama sesaat, apakah itu kalau bukan dungu? Oleh karena itu, perumah tangga, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Walaupun tubuhku menderita, namun batinku tidak akan menderita.’ Demikianlah engkau harus berlatih.”

Kemudian perumah tangga Nakulapitā, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan, setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta, ia duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepadanya:

“Perumah tangga, indriamu tenang, raut wajahmu bersih dan cerah. Apakah engkau mendengarkan khotbah Dhamma hari ini di hadapan Sang Bhagavā?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Aku baru saja menerima anugerah khotbah Dhamma yang lezat dari Sang Bhagavā.” 
“Khotbah Dhamma lezat apakah yang dianugerahkan oleh Sang Bhagavā kepadamu, perumah tangga?”

“Di sini, Yang Mulia, aku mendatangi Sang Bhagavā …
Perumah tangga Nakulapitā mengulangi keseluruhan percakapannya dengan Sang Buddha.
“Adalah khotbah Dhamma lezat demikianlah, Yang Mulia, yang dianugerahkan Sang Bhagavā kepadaku.”

“Apakah engkau ingat, perumah tangga, untuk menanyakan kepada Sang Bhagava lebih jauh lagi mengenai bagaimana seseorang menderita dalam jasmani dan menderita dalam batin, dan bagaimanakah seseorang menderita dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam batin?” 

“Kami datang dari jauh, Yang Mulia, untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Sudilah Yang Mulia Sāriputta menjelaskan makna pernyataan ini.”

“Dengarkan dan perhatikanlah, perumah tangga, aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” perumah tangga Nakulapitā menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Bagaimanakah, perumah tangga, seseorang menderita dalam jasmani dan menderita dalam batin? Di sini, perumah tangga, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah bentuk, bentuk adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentuk itu berubah. Dengan perubahan bentuk itu, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.
“Ia menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah perasaan, perasaan adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, perasaan itu berubah. Dengan perubahan perasaan itu, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah persepsi, persepsi adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, persepsi itu berubah. Dengan perubahan persepsi itu, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia menganggap bentukan-bentukan kehendak sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan kehendak, atau bentukan-bentukan kehendak sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah bentukan-bentukan kehendak, bentukan-bentukan kehendak adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentukan-bentukan kehendak itu berubah. Dengan perubahan bentukan-bentukan kehendak itu, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.
“Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ia hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah kesadaran, kesadaran adalah milikku.’ Selama ia hidup dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, kesadaran itu berubah. Dengan perubahan kesadaran itu, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.
“Dengan cara demikianlah, perumah tangga, seseorang menderita dalam jasmani dan menderita dalam batin.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang menderita dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam batin? Di sini, perumah tangga, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu di antara para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang merupakan salah satu di antara orang-orang superior dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah bentuk, bentuk adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentuk itu berubah. Dengan perubahan bentuk itu, tidak muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah perasaan, perasaan adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, perasaan itu berubah. Dengan perubahan perasaan itu, tidak muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah persepsi, persepsi adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, persepsi itu berubah. Dengan perubahan persepsi itu, tidak muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. 

“Ia tidak menganggap bentukan-bentukan kehendak sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan kehendak, atau bentukan-bentukan kehendak sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah bentukan-bentukan kehendak, bentukan-bentukan kehendak adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, bentukan-bentukan kehendak itu berubah. Dengan perubahan bentukan-bentukan kehendak itu, tidak muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ia tidak hidup dengan dikuasai oleh gagasan: ‘Aku adalah kesadaran, kesadaran adalah milikku.’ Selama ia hidup tanpa dikuasai oleh gagasan-gagasan ini, kesadaran itu berubah. Dengan perubahan kesadaran itu, tidak muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Dengan cara demikianlah, perumah tangga, orang itu menderita dalam jasmani tetapi tidak menderita dalam batin.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Perumah tangga Nakulapitā gembira mendengar pernyataan Yang Mulia Sāriputta. 


SN 22.2 : Devadaha Sutta [Di Devadaha ]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari wilayah barat menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, kami ingin pergi ke provinsi barat untuk menetap di sana.”

“Sudahkah kalian meminta izin dari Sāriputta, para bhikkhu?”

“Belum, Yang Mulia.”

“Kalau begitu, mintalah izin pada Sāriputta, para bhikkhu. Sāriputta bijaksana, ia adalah seorang yang membantu saudara-saudaranya dalam kehidupan suci.” 

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā di serumpun semak. Kemudian para bhikkhu itu yang gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan memberi hormat kepada Sang Bhagavā. Kemudian dengan Sang Buddha tetap di sisi kanan mereka, mereka mendekati Yang Mulia Sāriputta. Mereka saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta dan ketika mereka mengakhiri ucapan ramah-tamah dengan Yang Mulia Sāriputta, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Sahabat Sāriputta, kami ingin pergi ke provinsi barat untuk menetap di sana. Kami sudah meminta izin pada Sang Guru.”

“Sahabat-sahabat, ada para khattiya bijaksana, para brahmana bijaksana, para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana yang menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri—karena orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu: ‘Apakah yang dikatakan oleh gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’ Kuharap kalian telah mempelajari ajaran dengan baik, menggenggamnya dengan baik, memperhatikan dengan baik, merenungkan dengan baik, dan menembusnya dengan baik dengan kebijaksanaan, sehingga ketika kalian menjawab, kalian akan menyatakan apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakili Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta, sehingga kalian akan menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis pada pernyataan kalian yang dapat memberikan dasar bagi kritikan.”

“Kami datang dari jauh, sahabat, untuk mempelajari makna pernyataan Yang Mulia Sāriputta ini. Sudilah Yang Mulia Sāriputta menjelaskan makna dari pernyataan ini.”

“Maka dengarkan dan perhatikanlah, sahabat-sahabat, aku akan menjelaskan.”

“Baik, sahabat.” Para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut: 

“Ada, sahabat-sahabat, para khattiya bijaksana, para brahmana bijaksana, para perumah tangga bijaksana, dan para petapa bijaksana yang menanyai seorang bhikkhu yang pergi ke luar negeri—karena orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu: ‘Apakah yang dikatakan oleh gurumu, apakah yang Beliau ajarkan?’ Ditanya demikian, sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Guru kami, sahabat, mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu.’

“Ketika kalian menjawab demikian, sahabat-sahabat, akan ada para khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih lanjut—karena orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu: ‘Sehubungan dengan apakah guru kalian mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu?’ Ditanya demikian, sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Guru kami, sahabat, mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu pada bentuk, pelenyapan keinginan dan nafsu pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran.’

“Ketika kalian menjawab demikian, sahabat-sahabat, akan ada para khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih lanjut—karena orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu: ‘Setelah melihat bahaya apakah guru kalian mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu pada bentuk, pelenyapan keinginan dan nafsu pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran?’ Ditanya demikian, sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Jika, sahabat, seseorang masih memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, kehausan, ketagihan, dan kegemaran sehubungan dengan bentuk, kemudian dengan terjadinya perubahan bentuk maka muncullah dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Jika, sahabat, seseorang masih memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, kehausan, ketagihan dan kegemaran sehubungan dengan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, kemudian dengan terjadinya perubahan kesadaran maka muncullah dalam diri seseorang dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Setelah melihat bahaya ini, guru kami mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu pada bentuk, pelenyapan keinginan dan nafsu pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran.’ 

“Ketika kalian menjawab demikian, sahabat-sahabat, akan ada para khattiya bijaksana … para petapa bijaksana yang akan bertanya lebih lanjut—karena orang-orang bijaksana, sahabat-sahabat, memiliki sifat ingin tahu: ‘Setelah melihat manfaat apakah, guru kalian mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu pada bentuk, pelenyapan keinginan dan nafsu pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran?’ Ditanya demikian, sahabat-sahabat, kalian harus menjawab: ‘Jika, sahabat, seseorang tidak memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, kehausan, ketagihan, dan kegemaran sehubungan dengan bentuk, kemudian dengan terjadinya perubahan pada bentuk maka dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam dirinya. Jika, sahabat, seseorang tidak memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, kehausan, ketagihan, dan kegemaran sehubungan dengan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, kemudian dengan terjadinya perubahan pada kesadaran maka dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam dirinya. Setelah melihat manfaat ini, guru kami mengajarkan pelenyapan keinginan dan nafsu pada bentuk, pelenyapan keinginan dan nafsu pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran.’

“Jika, sahabat, seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi tidak bermanfaat dapat berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputus-asaan, dan demam, dan jika, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, kelahiran yang baik menantinya, maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Tetapi karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi tidak bermanfaat akan berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputus-asaan, dan demam, dan karena kelahiran yang tidak baik menantinya dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, maka Sang Bhagavā memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

“Jika, sahabat, seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi bermanfaat berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputus-asaan, dan demam, dan jika, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, kelahiran yang tidak baik menantinya, maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Tetapi karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi bermanfaat akan berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputus-asaan, dan demam, dan karena kelahiran yang baik menantinya dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu itu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. 



SN 22.3 : Hāliddikāni 1 Sutta [ Hāliddakāni (1)]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākaccāna sedang berdiam di antara penduduk Avantī di Gunung Papāta di Kuraraghara. Kemudian perumah tangga Hāliddakāni mendatangi Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:

‘Setelah meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa tempat kediaman,
Di desa sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia tidak berselisih dengan orang-orang.’

Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari ini, yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā secara singkat, seharusnya dipahami secara terperinci?”

“Unsur bentuk, perumah tangga, adalah rumah bagi kesadaran; seseorang yang kesadarannya terbelenggu oleh nafsu pada unsur bentuk disebut seorang yang mengembara dalam sebuah rumah. Unsur perasaan adalah rumah bagi kesadaran … Unsur persepsi adalah rumah bagi kesadaran … unsur bentukan-bentukan kehendak adalah rumah bagi kesadaran; seseorang yang kesadarannya terbelenggu oleh nafsu pada unsur bentukan-bentukan kehendak disebut seorang yang mengembara dalam sebuah rumah.. Adalah dengan cara demikian bahwa seseorang mengembara dalam sebuah rumah.

Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang mengembara tanpa rumah? Kegemaran, nafsu, kesenangan, dan ketagihan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur bentuk: semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa rumah. Kegemaran, nafsu, kesenangan, dan ketagihan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan unsur perasaan … unsur persepsi … unsur bentukan-bentukan kehendak … unsur kesadaran; semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa rumah.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang mengembara dalam tempat kediaman? Dengan penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk, seseorang disebut mengembara dalam tempat kediaman. Dengan penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran suara-suara … gambaran bau-bauan … gambaran rasa kecapan … gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena pikiran, seseorang di sebut mengembara dalam tempat kediaman.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang mengembara tanpa tempat kediaman? Penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran bentuk-bentuk; semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa tempat kediaman. Penyebaran dan pencakupan di dalam tempat kediaman [yang terdapat pada] gambaran suara-suara ... gambaran bau-bauan … gambaran rasa kecapan … gambaran objek-objek sentuhan … gambaran fenomena pikiran; semua ini telah ditinggalkan oleh Sang Tathāgata, dipotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu Sang Tathāgata disebut sebagai seorang yang mengembara tanpa tempat kediaman.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang akrab di desa? Di sini, perumah tangga, ia hidup dengan bergaul dengan orang-orang awam; ia saling berbagi kegembiraan dan kesedihan dengan mereka, ia bahagia ketika mereka bahagia dan sedih ketika mereka sedih, dan ia melibatkan dirinya dalam urusan dan pekerjaan mereka. Dengan cara demikianlah seseorang akrab di desa.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang tidak akrab dengan siapa pun di desa? Di sini, perumah tangga, seorang bhikkhu tidak hidup bergaul dengan orang-orang awam. Ia tidak saling berbagi kegembiraan dan kesedihan dengan mereka, ia tidak bahagia ketika mereka bahagia dan tidak bersedih ketika mereka sedih, dan ia tidak melibatkan dirinya dalam urusan dan pekerjaan mereka. Dengan cara demikianlah seseorang tidak akrab dengan siapa pun di desa.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang tidak meninggalkan kenikmatan indria? Di sini, perumah tangga, seseorang masih memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara demikianlah seseorang tidak meninggalkan kenikmatan indria.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang yang meninggalkan kenikmatan indria? Di sini, perumah tangga, seseorang tidak lagi memiliki nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan sehubungan dengan kenikmatan indria. Dengan cara demikianlah seseorang meninggalkan kenikmatan indria.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang memiliki pengharapan-pengharapan? Di sini, perumah tangga, seseorang berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan! Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan! Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan! Semoga aku memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian di masa depan! Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan cara demikianlah ia memiliki pengharapan-pengharapan.
“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang yang tanpa pengharapan-pengharapan? Di sini, perumah tangga, seseorang tidak berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk demikian di masa depan! … Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Dengan cara demikianlah ia tidak memiliki pengharapan-pengharapan.

“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang terlibat dalam perselisihan? Di sini, perumah tangga, seseorang terlibat dalam pembicaraan seperti berikut: ‘Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Apakah yang engkau pahami dari Dhamma dan Disiplin ini? Engkau mempraktikkan dengan cara yang keliru, aku mempraktikkan dengan benar. Apa yang seharusnya engkau katakan sebelumnya, engkau katakan sesudahnya; apa yang seharusnya engkau katakan sesudahnya, engkau katakan sebelumnya. Aku konsisten, engkau tidak konsisten. Apa yang memerlukan waktu lama untuk engkau pikirkan telah dijungkir-balikkan. Tesismu telah dibantah. Pergilah selamatkan tesismu, karena engkau telah dikalahkan, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan ini jika engkau mampu.’ Dengan cara demikianlah seseorang terlibat dalam perselisihan.
“Dan bagaimanakah, perumah tangga, seseorang tidak terlibat dalam perselisihan? Di sini, perumah tangga, seseorang tidak terlibat dalam pembicaraan seperti berikut: ‘Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini …’ Dengan cara demikianlah seseorang tidak terlibat dalam perselisihan.
“Demikianlah, perumah tangga, ketika ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaan Māgandiya’ dari Aṭṭhakavagga:

‘Setelah meninggalkan rumah untuk mengembara tanpa tempat kediaman,
Di desa sang bijaksana tidak akrab dengan siapa pun;
Meninggalkan kenikmatan indria, tanpa pengharapan,
Ia tidak berselisih dengan orang-orang’—
Adalah demikian makna ini, yang dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā, seharusnya dipahami secara terperinci.” 



SN 22.4 : Hāliddikāni 2 Sutta[ Hāliddakāni (2)]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākaccāna sedang menetap di antara penduduk Avantī di Gunung Papāta di Kuraraghara. Kemudian perumah tangga Hāliddakāni mendatangi Yang Mulia Mahākaccāna, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Yang Mulia, ini dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Sakka’: ‘Para petapa dan brahmana yang terbebaskan dalam padamnya ketagihan adalah mereka yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, makna dari pernyataan ini, yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā secara singkat, seharusnya dipahami secara terperinci?”

“Perumah tangga, melalui hancurnya, meluruhnya, terhentinya, ditinggalkannya, dan terlepasnya kegemaran, nafsu, kesenangan, ketagihan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi terhadap unsur bentuk, maka pikiran dikatakan terbebaskan dengan baik.
“Melalui hancurnya, meluruhnya, terhentinya, ditinggalkannya, dan terlepasnya kegemaran, nafsu, kesenangan, ketagihan, keterlibatan dan kemelekatan, pendirian, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi pada unsur perasaan … unsur persepsi … unsur bentukan-bentukan kehendak … unsur kesadaran, maka pikiran dikatakan terbebaskan dengan baik.

“Demikianlah, perumah tangga, ketika Sang Bhagavā mengatakan dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Sakka’: ‘Para petapa dan brahmana yang terbebaskan dalam padamnya ketagihan adalah mereka yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, dan kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, dan adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia’—adalah demikian makna ini, yang dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā, seharusnya dipahami secara terperinci.”



SN 22.5 : Samādhi Sutta [Konsentrasi ]

Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi. Seorang bhikkhu yang terkonsentrasi memahami hal-hal sebagaimana adanya.

“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan lenyapnya bentuk; asal-mula dan lenyapnya perasaan; asal-mula dan lenyapnya persepsi; asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; asal-mula dan lenyapnya kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk? Apakah asal-mula perasaan? Apakah asal-mula persepsi? Apakah asal-mula bentukan-bentukan kehendak? Apakah asal-mula kesadaran?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang mencari kesenangan, ia menyambut, ia menggenggam. Dan dalam apakah ia mencari kesenangan, apakah yang ia sambut, apakah yang ia genggam? Ia mencari kesenangan di dalam bentuk, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan muncul. Kesenangan di dalam bentuk adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ia mencari kesenangan di dalam perasaan … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan muncul … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula bentuk; ini adalah asal-mula perasaan; ini adalah asal-mula persepsi; ini adalah asal-mula bentukan-bentukan kehendak; ini adalah asal-mula kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya bentuk? Apakah lenyapnya perasaan? Apakah lenyapnya persepsi? Apakah lenyapnya bentukan-bentukan kehendak? Apakah lenyapnya kesadaran?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak mencari kesenangan, ia tidak menyambut, ia tidak menggenggam. Dan dalam apakah ia tidak mencari kesenangan? Apakah yang tidak ia sambut? Apakah yang tidak ia genggam? Ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk, tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan di dalam bentuk menjadi lenyap. Dengan lenyapnya kesenangan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Seseorang tidak mencari kesenangan di dalam perasaan … … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan di dalam kesadaran lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya bentuk; ini adalah lenyapnya perasaan; ini adalah lenyapnya persepsi; ini adalah lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; ini adalah lenyapnya kesadaran.”




SN 22.5–6 : Samādhi, Paṭisallāna Sutta [Konsentrasi]

Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi. Seorang bhikkhu yang terkonsentrasi memahami hal-hal sebagaimana adanya.

“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan lenyapnya bentuk; asal-mula dan lenyapnya perasaan; asal-mula dan lenyapnya persepsi; asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; asal-mula dan lenyapnya kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk? Apakah asal-mula perasaan? Apakah asal-mula persepsi? Apakah asal-mula bentukan-bentukan kehendak? Apakah asal-mula kesadaran?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang mencari kesenangan, ia menyambut, ia menggenggam. Dan dalam apakah ia mencari kesenangan, apakah yang ia sambut, apakah yang ia genggam? Ia mencari kesenangan di dalam bentuk, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan muncul. Kesenangan di dalam bentuk adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ia mencari kesenangan di dalam perasaan … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, menyambutnya, dan menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan muncul … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula bentuk; ini adalah asal-mula perasaan; ini adalah asal-mula persepsi; ini adalah asal-mula bentukan-bentukan kehendak; ini adalah asal-mula kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya bentuk? Apakah lenyapnya perasaan? Apakah lenyapnya persepsi? Apakah lenyapnya bentukan-bentukan kehendak? Apakah lenyapnya kesadaran?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak mencari kesenangan, ia tidak menyambut, ia tidak menggenggam. Dan dalam apakah ia tidak mencari kesenangan? Apakah yang tidak ia sambut? Apakah yang tidak ia genggam? Ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk, tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan di dalam bentuk menjadi lenyap. Dengan lenyapnya kesenangan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Seseorang tidak mencari kesenangan di dalam perasaan … … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, tidak menyambutnya, tidak menggenggamnya. Sebagai akibatnya, kesenangan di dalam kesadaran lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya bentuk; ini adalah lenyapnya perasaan; ini adalah lenyapnya persepsi; ini adalah lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; ini adalah lenyapnya kesadaran.”



SN 22.6 : Paṭisallāna Sutta [Keterasingan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, berusahalah dalam keterasingan. Seorang bhikkhu yang terasing memahami hal-hal sebagaimana adanya.

“Dan apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal-mula dan lenyapnya bentuk; asal-mula dan lenyapnya perasaan; asal-mula dan lenyapnya persepsi; asal-mula dan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; asal-mula dan lenyapnya kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula bentuk? …”
Kelanjutan dari sutta ini identik dengan sutta sebelumnya.



SN 22.7 : Upādāparitassanā 1 Sutta [Gejolak melalui Kemelekatan (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai gejolak melalui kemelekatan dan tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gejolak melalui kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan merupakan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, kesadarannya menjadi tercerap ke dalam perubahan bentuk tersebut. Gejolak dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas bentuk itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui kemelekatan ia menjadi bergejolak.

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran, kesadarannya menjadi tercerap ke dalam perubahan kesadaran tersebut. Gejolak dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas kesadaran itu menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya dikuasai, ia menjadi takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui kemelekatan ia menjadi bergejolak.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, gejolak melalui kemelekatan.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu di antara para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang adalah salah satu di antara orang-orang superior dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu berubah. Meskipun bentuk berubah, kesadarannya tidak tercerap dalam perubahan bentuk tersebut. Tidak ada gejolak dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas bentuk itu, yang menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui ketidak-melekatan ia tidak bergejolak.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah. Meskipun kesadaran berubah, kesadarannya tidak tercerap dalam perubahan kesadaran tersebut. Tidak ada gejolak dan sekumpulan kondisi batin yang muncul dari ketercerapan dalam perubahan atas kesadaran itu, yang menetap dan menguasai pikirannya. Karena pikirannya tidak dikuasai, ia tidak takut, tertekan, dan khawatir, dan melalui ketidak-melekatan ia tidak bergejolak.
“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan.”



SN 22.8 : Upādāparitassanā 2 Sutta [Gejolak melalui Kemelekatan (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai gejolak melalui kemelekatan dan tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan …

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gejolak melalui kemelekatan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar menganggap bentuk sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Bentuknya itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, muncullah dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai … bentukan-bentukan kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Kesadarannya itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran, muncullah dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, gejolak melalui kemelekatan.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak menganggap bentuk sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Bentuknya itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, tidak muncul dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai … persepsi sebagai … bentukan-bentukan kehendak sebagai … kesadaran sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Kesadarannya itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran, tidak muncul dalam dirinya kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, tanpa-gejolak melalui ketidak-melekatan.” 



SN 22.9 : Atītānāgata 1 Sutta [Ketidak-kekalan dalam Tiga Waktu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.

“Perasaan adalah tidak kekal ... Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam kesadaran di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.”


SN 22.9–11 : Atītānāgata 1–2 Sutta [Ketidak-kekalan dalam Tiga Waktu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.

“Perasaan adalah tidak kekal ... Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam kesadaran di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.” 



SN 22.10 : Atītānāgata 2 Sutta [Penderitaan dalam Tiga Waktu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.

“Perasaan adalah penderitaan ... Persepsi adalah penderitaan … Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran adalah penderitaan, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.” 


SN 22.11 : Atītānāgata 3 Sutta [Bukan-diri dalam Tiga Waktu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan bentuk di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam bentuk di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap bentuk di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.

“Perasaan adalah bukan-diri ... Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan-diri, baik di masa lalu maupun di masa depan, apalagi di masa sekarang. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak tertarik dengan kesadaran di masa lalu; ia tidak mencari kesenangan di dalam kesadaran di masa depan; dan ia mempraktikkan kejijikan terhadap kesadaran di masa sekarang, demi peluruhan dan lenyapnya.” 



Anicca Vagga


SN 22.12 : Anicca Sutta [Tidak-kekal]

Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:


“Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”



SN 22.12–14 : Anicca, Dukkha, Anatta Sutta [Tidak-kekal]

Demikianlah yang kudengar. Di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.13 : Dukkha Sutta [Penderitaan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan, perasaan adalah penderitaan, persepsi adalah penderitaan, bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan, kesadaran adalah penderitaan. Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.14 : Anatta Sutta [Bukan-diri]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.15 : Yadanicca Sutta [Apa yang Tidak-Kekal]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.16 :  Yaṃdukkha Sutta [Apa yang merupakan Penderitaan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan adalah penderitaan … Persepsi adalah penderitaan … Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.16–17 : Yaṃdukkha, Yadanatta Sutta [Apa yang merupakan Penderitaan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan adalah penderitaan … Persepsi adalah penderitaan … Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.17 : Yadanatta Sutta [Apa yang Bukan-diri]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan adalah bukan-diri … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.18 : Hetu 1 Sutta [Ketidak-kekalan dengan Penyebab]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal. Penyebab dan kondisi bagi munculnya bentuk adalah juga tidak kekal. Karena bentuk berasal-mula dari apa yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Penyebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran adalah juga tidak kekal. Karena kesadaran berasal-mula dari apa yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.19 :  Hetu 2 Sutta [Penderitaan dengan Penyebab]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan. Penyebab dan kondisi bagi munculnya bentuk adalah juga penderitaan. Karena bentuk berasal-mula dari apa yang merupakan penderitaan, bagaimana mungkin ia adalah kebahagiaan?

“Perasaan adalah penderitaan … Persepsi adalah penderitaan … Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran adalah penderitaan. Penyebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran adalah juga penderitaan. Karena kesadaran berasal-mula dari apa yang merupakan penderitaan, bagaimana mungkin ia adalah kebahagiaan?

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.19–20 : Hetu 1–2 Sutta [Penderitaan dengan Penyebab]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah penderitaan. Penyebab dan kondisi bagi munculnya bentuk adalah juga penderitaan. Karena bentuk berasal-mula dari apa yang merupakan penderitaan, bagaimana mungkin ia adalah kebahagiaan?

“Perasaan adalah penderitaan … Persepsi adalah penderitaan … Bentukan-bentukan kehendak adalah penderitaan … Kesadaran adalah penderitaan. Penyebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran adalah juga penderitaan. Karena kesadaran berasal-mula dari apa yang merupakan penderitaan, bagaimana mungkin ia adalah kebahagiaan?

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.20 :  Hetu 3 Sutta [Bukan-diri dengan Penyebab]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Penyebab dan kondisi bagi munculnya bentuk adalah juga bukan-diri. Karena bentuk berasal-mula dari apa yang bukan-diri, bagaimana mungkin ia adalah diri?

“Perasaan adalah bukan-diri … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan-diri. Penyebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran adalah juga bukan-diri. Karena kesadaran berasal-mula dari apa yang bukan-diri, bagaimana mungkin ia adalah diri?

“Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.21 : Ānanda Sutta [Ānanda]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, dikatakan, ‘lenyapnya, lenyapnya.’ Melalui lenyapnya apakah lenyapnya ini dikatakan?”

“Bentuk, Ānanda, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, mengalami kehancuran, musnah, meluruh, lenyap. Melalui lenyapnya inilah, lenyapnya dikatakan.

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … … Kesadaran adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, mengalami kehancuran, musnah, meluruh, lenyap. Melalui lenyapnya inilah, lenyapnya dikatakan.
“Adalah melalui lenyapnya hal-hal inilah, Ānanda, lenyapnya itu dikatakan.” 




Bhāra Vagga


SN 22.22 :  Bhāra Sutta [Beban]

Di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan mengenai beban, pembawa beban, membawa beban, menurunkan beban. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, beban itu? Harus dikatakan: lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Apakah lima ini? Kelompok bentuk yang tunduk pada kemelekatan, kelompok perasaan yang tunduk pada kemelekatan, kelompok persepsi yang tunduk pada kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan kehendak yang tunduk pada kemelekatan, kelompok kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Ini adalah apa yang disebut beban.

“Dan apakah, para bhikkhu, pembawa beban itu? Harus dikatakan: orang itu, yang mulia bernama ini dari suku itu. Ini adalah apa yang disebut pembawa beban.

“Dan apakah, para bhikkhu, membawa beban? Adalah ketagihan yang membawa menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kesenangan di sana-sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan. Ini adalah apa yang disebut membawa beban.

“Dan apakah, para bhikkhu, menurunkan beban? Yaitu peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, ditinggalkannya dan terlepasnya, kebebasan darinya, ketidak-tergantungan padanya. Ini adalah apa yang disebut dengan menurunkan beban.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Lima kelompok unsur kehidupan sungguh adalah beban,
Pembawa beban adalah orangnya.
Membawa beban adalah penderitaan di dunia,
Menurunkan beban adalah kebahagiaan.
Setelah menurunkan beban berat
Tanpa membawa beban lain,
Setelah mencabut ketagihan hingga ke akarnya,
Ia terbebas dari kelaparan, padam sepenuhnya.” 



SN 22.23 :  Pariññā Sutta [Pemahaman Penuh]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya dan juga pemahaman penuh. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya? Bentuk, para bhikkhu, adalah suatu hal yang harus dipahami sepenuhnya; perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran adalah suatu hal yang harus dipahami sepenuhnya. Hal-hal ini disebut sebagai hal-hal yang harus dipahami sepenuhnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, pemahaman penuh itu? Hancurnya nafsu, hancurnya kebencian, hancurnya delusi. Ini disebut pemahaman penuh.” 


SN 22.24 : Abhijāna Sutta [Mengetahui secara Langsung]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, tanpa mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya bentuk, tanpa menjadi bosan terhadapnya dan meninggalkannya, seseorang tidak akan mampu menghancurkan penderitaan. Tanpa mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, tanpa menjadi bosan terhadapnya dan meninggalkannya, seseorang tidak akan mampu menghancurkan penderitaan.

“Para bhikkhu, dengan mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya bentuk, dengan menjadi bosan terhadapnya dan meninggalkannya, seseorang akan mampu menghancurkan penderitaan. Dengan mengetahui secara langsung dan memahami sepenuhnya perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, dengan menjadi bosan terhadapnya dan meninggalkannya, seseorang akan mampu menghancurkan penderitaan.” 


SN 22.25 :  Chandarāga Sutta [Keinginan dan Nafsu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, tinggalkanlah keinginan dan nafsu pada bentuk. Demikianlah bentuk itu akan ditinggalkan, dipotong hingga ke akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.

“Tinggalkanlah keinginan dan nafsu pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran. Demikianlah kesadaran itu akan ditinggalkan, dipotong hingga ke akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.” 


SN 22.26 :  Assāda 1 Sutta [Kepuasan (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih seorang Bodhisatta, masih belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: ‘Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri dari bentuk? Apakah kepuasan, apakah bahaya apakah jalan membebaskan diri dari perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran?’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada bentuk: ini adalah kepuasan dalam bentuk. Bentuk itu adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentuk. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada bentuk: ini adalah jalan membebaskan diri dari bentuk.

“‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada perasaan … dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan kehendak … dengan bergantung pada kesadaran: ini adalah kepuasan dalam kesadaran. Kesadaran itu adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam kesadaran. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada kesadaran: ini adalah jalan membebaskan diri dari kesadaran.’

“Para bhikkhu, selama Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diriKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan; ini adalah kehidupan terakhirKu; tidak ada lagi penjelmaan baru.’” 



SN 22.26–27 :  Assāda 1–2 Sutta [Kepuasan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih seorang Bodhisatta, masih belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: ‘Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri dari bentuk? Apakah kepuasan, apakah bahaya apakah jalan membebaskan diri dari perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran?’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada bentuk: ini adalah kepuasan dalam bentuk. Bentuk itu adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentuk. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada bentuk: ini adalah jalan membebaskan diri dari bentuk.

“‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada perasaan … dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan kehendak … dengan bergantung pada kesadaran: ini adalah kepuasan dalam kesadaran. Kesadaran itu adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam kesadaran. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada kesadaran: ini adalah jalan membebaskan diri dari kesadaran.’

“Para bhikkhu, selama Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diriKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan; ini adalah kehidupan terakhirKu; tidak ada lagi penjelmaan baru.’” 



SN 22.27 :  Assāda 2 Sutta [Kepuasan (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku pergi mencari kepuasan di dalam bentuk. Apa pun kepuasan yang terdapat di dalam bentuk—yang Kutemukan. Aku telah melihatnya dengan jelas dengan kebijaksanaan seberapa jauh jangkauan dari kepuasan di dalam bentuk itu.

“Para bhikkhu, Aku pergi mencari bahaya di dalam bentuk. Apa pun bahaya yang terdapat di dalam bentuk—yang Kutemukan. Aku telah melihatnya dengan jelas dengan kebijaksanaan seberapa jauh jangkauan dari bahaya itu.

“Para bhikkhu, Aku pergi mencari jalan membebaskan diri dari bentuk. Apa pun jalan membebaskan diri dari bentuk—yang Kutemukan. Aku telah melihatnya dengan jelas dengan kebijaksanaan seberapa jauh jangkauan dari jalan membebaskan diri dari bentuk itu.
“Para bhikkhu, Aku pergi mencari kepuasan di dalam … bahaya di dalam … jalan membebaskan diri dari perasaan … dari persepsi … dari bentukan-bentukan kehendak … dari kesadaran. Apa pun jalan membebaskan diri dari kesadaran—yang Kutemukan. Aku telah melihatnya dengan jelas dengan kebijaksanaan seberapa jauh jangkauan dari jalan membebaskan diri dari kesadaran itu.

“Para bhikkhu, selama Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah mengetahui secara langsung semua ini sebagaimana adanya, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diriKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan; ini adalah kehidupan terakhirKu; tidak ada lagi penjelmaan baru.’” 



SN 22.28 : Assāda 3 Sutta [Kepuasan (3)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jika tidak ada kepuasan di dalam bentuk, maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya; tetapi karena ada kepuasan di dalam bentuk, maka makhluk-makhluk menyukainya. Jika tidak ada bahaya di dalam bentuk, maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya; tetapi karena ada bahaya di dalam bentuk, maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya. Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari bentuk, maka makhluk-makhluk tidak akan terbebas darinya; tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari bentuk, maka makhluk-makhluk terbebas darinya.

“Para bhikkhu, jika tidak ada kepuasan di dalam perasaan … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya … tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari kesadaran, maka makhluk-makhluk terbebas darinya.

“Para bhikkhu, selama makhluk-makhluk belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan, maka mereka belum terbebaskan dari dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dari generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia; mereka belum terlepaskan darinya, belum keluar darinya, juga mereka tidak berdiam dengan batin bebas dari rintangan. Tetapi ketika makhluk-makhluk telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya, maka mereka telah terbebaskan dari dunia ini dengan … para deva dan manusia; mereka telah terlepas darinya, keluar darinya, dan mereka berdiam dengan batin bebas dari rintangan.” 



SN 22.29 :  Abhinandanaṃ Sutta [Kesenangan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seseorang yang mencari kesenangan di dalam bentuk, mencari kesenangan di dalam penderitaan. Ia yang mencari kesenangan di dalam penderitaan, Aku katakan, adalah tidak terbebas dari penderitaan. Ia yang mencari kesenangan di dalam perasaan … di dalam persepsi … di dalam bentukan-bentukan kehendak … di dalam kesadaran, mencari kesenangan di dalam penderitaan. Ia yang mencari kesenangan di dalam penderitaan, Aku katakan, adalah tidak terbebas dari penderitaan.

“Seseorang yang tidak mencari kesenangan di dalam bentuk … di dalam kesadaran, tidak mencari kesenangan di dalam penderitaan. Ia yang tidak mencari kesenangan di dalam penderitaan, Aku katakan, adalah terbebas dari penderitaan.”


SN 22.30 : Uppāda Sutta [Kemunculan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kemunculan, kelangsungan, produksi, dan manifestasi dari bentuk adalah kemunculan penderitaan, kelangsungan penyakit, manifestasi penuaan-dan-kematian. Kemunculan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, adalah kemunculan penderitaan, kelangsungan penyakit, manifestasi penuaan-dan-kematian.

“Berhentinya, meredanya, dan lenyapnya bentuk … kesadaran, adalah berhentinya penderitaan, meredanya penyakit, lenyapnya penuaan-dan-kematian.” 


SN 22.31 :  Aghamūla Sutta [Akar Kesengsaraan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai kesengsaraan dan akar kesengsaraan. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, kesengsaraan itu? Bentuk adalah kesengsaraan; perasaan adalah kesengsaraan; persepsi adalah kesengsaraan; bentukan-bentukan kehendak adalah kesengsaraan; kesadaran adalah kesengsaraan. Ini disebut kesengsaraan.

“Dan apakah, para bhikkhu, akar kesengsaraan? Adalah ketagihan ini yang membawa menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kesenangan di sana sini; yaitu, ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, ketagihan pada pemusnahan. Ini disebut akar kesengsaraan.” 


SN 22.32 :  Pabhaṃgu Sutta [Rentan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai yang rentan dan yang tidak rentan. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, yang rentan, dan apakah yang tidak rentan? Bentuk adalah rentan; berhentinya, meredanya, lenyapnya adalah tidak rentan. Perasaan adalah rentan … Persepsi adalah rentan …Bentukan-bentukan kehendak adalah rentan … Kesadaran adalah rentan; berhentinya, meredanya, lenyapnya adalah tidak rentan.”



Natumhāka Vagga


SN 22.33 :  Natumhāka 1 Sutta [Bukan Milikmu (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apa pun yang bukan milikmu, tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Dan apakah, para bhikkhu, yang bukan milikmu? Bentuk bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Perasaan bukan milikmu … Persepsi bukan milikmu … Bentukan-bentukan kehendak bukan milikmu … Kesadaran bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.

“Misalkan, para bhikkhu, orang-orang mengambil rumput, tongkat kayu, dahan, dan dedaunan di Hutan Jeta ini, atau membakarnya, atau melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akankah kalian berpikir: ‘Orang-orang mengambil kami, atau membakar kami, atau melakukan apa pun pada kami sesuai keinginan mereka’?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena apakah? Karena, Yang Mulia, itu bukan diri kami atau apa yang menjadi milik kami.”

“Demikian pula, para bhikkhu, bentuk bukan milikmu … kesadaran bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.”



SN 22.33–34 :  Natumhāka 1–2 Sutta [Bukan Milikmu (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apa pun yang bukan milikmu, tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Dan apakah, para bhikkhu, yang bukan milikmu? Bentuk bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Perasaan bukan milikmu … Persepsi bukan milikmu … Bentukan-bentukan kehendak bukan milikmu … Kesadaran bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.

“Misalkan, para bhikkhu, orang-orang mengambil rumput, tongkat kayu, dahan, dan dedaunan di Hutan Jeta ini, atau membakarnya, atau melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akankah kalian berpikir: ‘Orang-orang mengambil kami, atau membakar kami, atau melakukan apa pun pada kami sesuai keinginan mereka’?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena apakah? Karena, Yang Mulia, itu bukan diri kami atau apa yang menjadi milik kami.”

“Demikian pula, para bhikkhu, bentuk bukan milikmu … kesadaran bukan milikmu: tinggalkanlah. Ketika kalian telah meninggalkannya, itu akan mengarahkan kalian menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.”



SN 22.34 : Natumhāka 2 Sutta [Bukan Milikmu (2)]

Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya kecuali bahwa sutta ini menghilangkan perumpamaan itu.


SN 22.35 : Bhikkhu 1 Sutta [Seorang Bhikkhu (1)]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma secara singkat kepadaku, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, mengasingkan diri, dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Bhikkhu, jika seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap sesuatu, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap sesuatu, maka ia tidak dikenali sehubungan dengan hal itu.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci atas apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Jika, Yang Mulia, seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap perasaan, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap persepsi, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentukan-bentukan kehendak, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap kesadaran, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu.

“Jika, Yang Mulia, seseorang tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk, maka ia tidak dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap perasaan … terhadap persepsi … terhadap bentukan-bentukan kehendak … terhadap kesadaran, maka ia tidak dikenali sehubungan dengan hal itu.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci atas apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Jika, bhikkhu, seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk … seperti di atas secara lengkap … maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”

Kemudian bhikkhu itu, senang dan gembira atas kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia pergi.

Kemudian, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, bhikkhu itu, dengan merealisasikannya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang tanpa bandingnya yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.



SN 22.36 :  Bhikkhu 2 Sutta [Seorang Bhikkhu (2)]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma secara singkat kepadaku, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Bhagavā, aku dapat berdiam sendiri, mengasingkan diri, dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Bhikkhu, jika seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap sesuatu, maka ia diukur sesuai dengan hal itu; jika ia diukur sesuai dengan hal itu, maka dia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika ia tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap sesuatu, maka ia tidak diukur sesuai dengan hal itu; jika ia tidak diukur sesuai dengan hal itu, maka ia tidak dikenal sehubungan dengan hal itu.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci atas apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Jika, Yang Mulia, seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk, maka ia diukur sesuai dengan hal itu; jika ia diukur sesuai dengan hal itu, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap perasaan …terhadap persepsi … terhadap bentukan-bentukan kehendak … terhadap kesadaran, maka ia diukur sesuai dengan hal itu; jika ia diukur sesuai dengan hal itu, maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu.

“Jika, Yang Mulia, seseorang tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk, maka ia tidak diukur sesuai dengan hal itu; jika ia tidak diukur sesuai dengan hal itu, maka ia tidak dikenali sehubungan dengan hal itu. Jika seseorang tidak memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap perasaan … terhadap persepsi … terhadap bentukan-bentukan kehendak … terhadap kesadaran, maka ia tidak diukur sesuai dengan hal itu; jika ia tidak diukur sesuai dengan hal itu, maka ia tidak dikenali sehubungan dengan hal itu.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci atas apa yang dikatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Jika, bhikkhu, seseorang memiliki kecenderungan tersembunyi terhadap bentuk … seperti di atas secara lengkap … maka ia dikenali sehubungan dengan hal itu. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”

Kemudian bhikkhu itu, senang dan gembira atas kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya … Dan bhikkhu itu menjadi salah satu dari para Arahant.



SN 22.37 :  Ānanda 1 Sutta [Ānanda (1)]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda ketika ia telah duduk di satu sisi:

“Jika, Ānanda, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Ānanda, hal-hal apakah yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat?’—ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawabnya?” 

“Yang Mulia, jika mereka bertanya kepadaku seperti ini, aku akan menjawab: ‘Sahabat, pada bentuk: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Inilah, sahabat, hal-hal yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat.’ Ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab seperti itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Pada bentuk, Ānanda, kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Inilah, Ānanda, hal-hal yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat. Ditanya demikian, Ānanda, engkau harus menjawab seperti itu.” 



SN 22.37–38 :  Ānanda 1–2 Sutta [Ānanda (1)]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda ketika ia telah duduk di satu sisi:

“Jika, Ānanda, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Ānanda, hal-hal apakah yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat?’—ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawabnya?”

“Yang Mulia, jika mereka bertanya kepadaku seperti ini, aku akan menjawab: ‘Sahabat, pada bentuk: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Inilah, sahabat, hal-hal yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat.’ Ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab seperti itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Pada bentuk, Ānanda, kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Inilah, Ānanda, hal-hal yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat. Ditanya demikian, Ānanda, engkau harus menjawab seperti itu.” 



SN 22.38 :  Ānanda 2 Sutta [Ānanda (2)]

Di Sāvatthī … Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda ketika ia telah duduk di satu sisi:
“Jika, Ānanda, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Ānanda, hal-hal apakah yang kemunculannya telah terlihat, lenyapnya telah terlihat, dan perubahannya telah terlihat? Hal-hal apakah yang kemunculannya akan terlihat, lenyapnya akan terlihat, dan perubahannya akan terlihat? Hal-hal apakah yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat?’—ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawabnya?”

“Yang Mulia, jika mereka bertanya kepadaku seperti ini, aku akan menjawab: ‘Sahabat, pada bentuk yang telah berlalu, telah lenyap, telah berubah: kemunculannya telah terlihat, lenyapnya telah terlihat, perubahannya telah terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang telah berlalu, telah lenyap, telah berubah: kemunculannya telah terlihat, lenyapnya telah terlihat, perubahannya telah terlihat. Inilah, sahabat, hal-hal yang kemunculannya telah terlihat, lenyapnya telah terlihat, dan perubahannya telah terlihat.

“Sahabat, pada bentuk yang belum dilahirkan, belum terbentuk: kemunculannya akan terlihat, lenyapnya akan terlihat, perubahannya akan terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang belum dilahirkan, belum terbentuk: kemunculannya akan terlihat, lenyapnya akan terlihat, perubahannya akan terlihat. Inilah, sahabat, hal-hal yang kemunculannya akan terlihat, lenyapnya akan terlihat, dan perubahannya akan terlihat.

“Sahabat, pada bentuk yang telah dilahirkan, telah terbentuk: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran yang telah dilahirkan, telah terbentuk: kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, perubahannya terlihat. Inilah, sahabat, hal-hal yang kemunculannya terlihat, lenyapnya terlihat, dan perubahannya terlihat.’

“Ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab seperti itu.”
“Bagus, bagus, Ānanda!”

Sang Buddha di sini mengulangi keseluruhan jawaban Yang Mulia Ānanda, dan menutup dengan: 
“Ditanya demikian, Ānanda, engkau harus menjawab seperti itu.” 


SN 22.39 :  Anudhamma 1 Sutta [Sesuai dengan Dhamma (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu berpraktik sesuai dengan Dhamma, inilah apa yang sesuai dengan Dhamma: ia harus berdiam dalam kejijikan terhadap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia yang berdiam dalam kejijikan terhadap bentuk … dan kesadaran, sepenuhnya memahami bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia yang sepenuhnya memahami bentuk … dan kesadaran terbebaskan dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” 


SN 22.39–42 :  Anudhamma 1–2 Sutta [Sesuai dengan Dhamma (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu berpraktik sesuai dengan Dhamma, inilah apa yang sesuai dengan Dhamma: ia harus berdiam dalam kejijikan terhadap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia yang berdiam dalam kejijikan terhadap bentuk … dan kesadaran, sepenuhnya memahami bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia yang sepenuhnya memahami bentuk … dan kesadaran terbebaskan dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Ia terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” 


SN 22.40 :  Anudhamma 2 Sutta [Sesuai dengan Dhamma (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu berpraktik sesuai dengan Dhamma, inilah apa yang sesuai dengan Dhamma: ia harus berdiam merenungkan ketidak-kekalan dalam bentuk … seperti di atas … ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” 



SN 22.41 :  Anudhamma 3 Sutta [Sesuai dengan Dhamma (3)]

… “ia harus berdiam merenungkan penderitaan dalam bentuk … seperti di atas … ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” 



SN 22.42 :  Anudhamma 4 Sutta [Sesuai dengan Dhamma (4)]

… “ia harus berdiam merenungkan bukan-diri dalam bentuk … seperti di atas … ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” 



Attadīpa Vagga



SN 22.43 :  Attadīpa Sutta [ Dengan Dirimu sebagai Pulau]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, berdiamlah dengan dirimu sebagai pulau, dengan dirimu sebagai perlindungan, tidak ada perlindungan lain; dengan Dhamma sebagai pulau, dengan Dhamma sebagai perlindungan, tidak ada perlindungan lain. Ketika kalian berdiam dengan dirimu sebagai pulau, dengan dirimu sebagai perlindungan, tidak ada perlindungan lain; dengan Dhamma sebagai pulau, dengan Dhamma sebagai perlindungan, tidak ada perlindungan lain, landasan itu sendiri harus diselidiki sebagai berikut: ‘Dari manakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul? Bagaimanakah hal-hal itu dihasilkan?’

“Dan, para bhikkhu, dari manakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul? Bagaimanakah hal-hal itu dihasilkan? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan merupakan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu berubah. Dengan berubahnya bentuk, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu berubah. Dengan berubahnya kesadaran, muncul dalam dirinya dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan.
“Tetapi, para bhikkhu, ketika seseorang telah memahami ketidak-kekalan dari bentuk, perubahannya, peluruhannya, dan lenyapnya, dan ketika ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Di masa lalu dan juga sekarang, segala bentuk adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan,’ maka dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan ditinggalkan. Dengan meninggalkan itu, ia tidak menjadi bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia berdiam dengan bahagia. Seorang bhikkhu yang berdiam dengan bahagia, dikatakan padam dalam hal itu.

“Ketika seseorang memahami ketidak-kekalan dari perasaan … dari persepsi … dari bentukan-bentukan kehendak … dari kesadaran, perubahannya, peluruhannya, dan lenyapnya, dan ketika ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Di masa lalu dan juga sekarang, segala kesadaran adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan,’ maka dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan ditinggalkan. Dengan meninggalkan itu, ia tidak menjadi bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia berdiam dengan bahagia. Seorang bhikkhu yang berdiam dengan bahagia, dikatakan padam dalam hal itu.”


SN 22.44 :  Paṭipadā Sutta [Jalan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai jalan menuju asal-mula identitas dan jalan menuju lenyapnya identitas. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju asal-mula identitas? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar … menganggap bentuk sebagai diri … perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri … atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini, para bhikkhu, disebut jalan menuju asal-mula identitas. Ketika dikatakan, ‘Jalan menuju asal-mula identitas,’ artinya di sini adalah: cara menganggap segala sesuatu yang menuju pada asal-mula penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju lenyapnya identitas? Di sini, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar … tidak menganggap bentuk sebagai diri … juga tidak menganggap perasaan sebagai diri … juga tidak menganggap persepsi sebagai diri … juga tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri … juga tidak menganggap kesadaran sebagai diri ... juga tidak menganggap diri sebagai di dalam kesadaran. Ini, para bhikkhu, disebut jalan menuju lenyapnya identitas. Ketika dikatakan, ‘Jalan menuju lenyapnya identitas,’ artinya di sini adalah: cara menganggap segala sesuatu yang menuju pada lenyapnya penderitaan.” 


SN 22.45 :  Aniccatā 1 Sutta [Ketidak-kekalan (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihat ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, maka batinnya menjadi bosan dan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihat ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, maka batinnya menjadi bosan dan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Jika, para bhikkhu, batin seorang bhikkhu telah menjadi bosan terhadap unsur bentuk, maka batinnya itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Jika batinnya telah menjadi bosan terhadap unsur perasaan … terhadap unsur persepsi … terhadap unsur bentukan-bentukan kehendak … terhadap unsur kesadaran, maka batinnya itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Dengan terbebaskan, batinnya menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, batinnya puas; dengan menjadi puas, ia tidak bergejolak. Dengan tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.46 :  Aniccatā 2 Sutta [Ketidak-kekalan (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal … Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Ketika seseorang melihat demikian sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia tidak lagi menganut pandangan sehubungan dengan masa lalu. Ketika ia tidak lagi menganut pandangan sehubungan dengan masa lalu, maka ia tidak lagi menganut pandangan sehubungan dengan masa depan. Ketika ia tidak lagi menganut pandangan sehubungan dengan masa depan, maka ia tidak lagi menggenggam erat-erat. Ketika ia tidak lagi menggenggam erat-erat, maka batinnya menjadi bosan terhadap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, dan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Dengan terbebaskan, batinnya menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, batinnya puas; dengan menjadi puas, ia tidak bergejolak. Dengan tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.47 :  Samanupassanā Sutta [Cara-cara Menganggap Segala Sesuatu]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang menganggap [segala sesuatu sebagai] diri dalam berbagai cara, menganggap lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan [sebagai diri], atau salah satu di antaranya. Apakah lima itu?

“Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan merupakan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.

“Demikianlah cara menganggap segala sesuatu dan [gagasan] ‘Aku’ ini belum lenyap dalam dirinya. Karena ‘aku’ belum lenyap, di sana terjadi suatu turunan dari lima indria—indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, indria badan. Ada, para bhikkhu, pikiran, ada fenomena-fenomena pikiran, ada unsur ketidaktahuan. Ketika kaum duniawi yang tidak terpelajar terkontak oleh perasaan yang muncul dari kontak-ketidaktahuan, maka ‘aku’ muncul padanya; ‘aku adalah ini’ muncul padanya; ‘aku akan menjadi’ dan ‘aku tidak akan menjadi’, dan ‘aku terdiri dari bentuk’ dan ‘aku akan menjadi tanpa-bentuk’, dan ‘aku akan memiliki persepsi’ dan ‘aku akan menjadi tanpa persepsi’ dan ‘aku akan menjadi bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi’—hal-hal ini muncul padanya.

“Lima indria itu tetap ada di sana, para bhikkhu, namun sehubungan dengan lima indria itu, siswa mulia yang terpelajar meninggalkan ketidaktahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati. Dengan meluruhnya ketidaktahuan dan munculnya pengetahuan sejati, ‘aku’ tidak muncul padanya; ‘aku adalah ini’ tidak muncul padanya’; ‘aku akan menjadi’ dan ‘aku tidak akan menjadi’ dan ‘aku terdiri dari bentuk’ dan ‘aku akan menjadi tanpa-bentuk’, dan ‘aku akan memiliki persepsi’ dan ‘aku akan menjadi tanpa persepsi’ dan ‘aku akan menjadi bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi’—hal-hal ini tidak muncul padanya.” 


SN 22.48 :  Khandha Sutta [Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai lima kelompok unsur kehidupan dan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Dengarkanlah …

“Dan apakah, para bhikkhu, lima kelompok unsur kehidupan? Bentuk apa pun juga, baik di masa lalu maupun di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur bentuk. Perasaan apa pun juga … ini disebut kelompok unsur perasaan. Persepsi apa pun juga … ini disebut kelompok unsur persepsi. Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … ini disebut kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak. Kesadaran apa pun juga, baik di masa lalu maupun di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran. Ini, para bhikkhu, disebut lima kelompok unsur kehidupan.

“Dan apakah, para bhikkhu, lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan? Bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang … jauh atau dekat, yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan. Perasaan apa pun juga … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan. Persepsi apa pun juga … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan. Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak yang tunduk pada kemelekatan. Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, yang ternoda, yang dapat dilekati: ini disebut kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Ini, para bhikkhu, disebut lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan.”


SN 22.49 :  Soṇa 1 Sutta [Soṇa (1)]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Soṇa putra perumah tangga mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Soṇa putra perumah tangga:

“Soṇa, ketika petapa dan brahmana mana pun juga, dengan berdasarkan pada bentuk—yang tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan—menganggap diri mereka: ‘aku lebih mulia,’ atau ‘aku sama dengan,’ atau ‘aku lebih hina,’ apakah maksudnya kalau bukan berarti tidak melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?
“Ketika petapa dan brahmana mana pun juga, dengan berdasarkan pada perasaan … berdasarkan pada persepsi … berdasarkan pada bentukan-bentukan kehendak … berdasarkan pada kesadaran—yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan—menganggap diri mereka: ‘aku lebih mulia,’ atau ‘aku sama dengan,’ atau ‘aku lebih hina,’ apakah maksudnya kalau bukan berarti tidak melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?

“Soṇa, ketika petapa dan brahmana mana pun juga, dengan berdasarkan pada bentuk—yang tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan—tidak menganggap diri mereka: ‘aku lebih mulia,’ atau ‘aku sama dengan,’ atau ‘aku lebih hina,’ apakah maksudnya kalau bukan berarti melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?

“Ketika petapa dan brahmana mana pun juga, dengan berdasarkan pada perasaan … berdasarkan pada persepsi … berdasarkan pada bentukan-bentukan kehendak … berdasarkan pada kesadaran—yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan—tidak menganggap diri mereka: ‘aku lebih mulia,’ atau ‘aku sama dengan,’ atau ‘aku lebih hina,’ apakah maksudnya kalau bukan berarti melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?
“Bagaimana menurutmu, Soṇa, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah sesuatu yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal?

 … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah sesuatu yang tidak kekal itu penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu, Soṇa, bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semuanya harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semuanya harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian, Soṇa, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan, [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.50 : Soṇa 2 Sutta [Soṇa (2)]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Soṇa putra perumah tangga mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Soṇa putra perumah tangga:

“Soṇa, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; yang tidak memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara petapa atau brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, Soṇa, para petapa dan brahmana yang memahami bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; yang memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara petapa dan brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.” 


SN 22.51 :  Nandikkhaya 1 Sutta [Hancurnya Kesenangan (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu melihat bentuk sebagai tidak kekal yang sesungguhnya memang tidak kekal: itu adalah pandangan benarnya. Melihat dengan benar, ia mengalami kejijikan. Dengan hancurnya kesenangan maka terjadilah penghancuran nafsu; dengan hancurnya nafsu maka terjadilah penghancuran kesenangan. Dengan hancurnya kesenangan dan nafsu maka batin terbebaskan dan dikatakan sebagai terbebaskan dengan baik.

“Seorang bhikkhu melihat perasaan sebagai tidak kekal yang sesungguhnya memang tidak kekal … persepsi sebagai tidak kekal yang sesungguhnya memang tidak kekal … bentukan-bentukan kehendak sebagai tidak kekal yang sesungguhnya memang tidak kekal … kesadaran sebagai tidak kekal yang sesungguhnya memang tidak kekal: itu adalah pandangan benarnya … Dengan hancurnya kesenangan dan nafsu maka batin terbebaskan dan dikatakan sebagai terbebaskan dengan baik.” 


SN 22.52 :  Nandikkhaya 2 Sutta [Hancurnya Kesenangan (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, perhatikanlah bentuk dengan seksama. Kenalilah ketidak-kekalan bentuk itu sebagaimana adanya. Ketika seorang bhikkhu memperhatikan bentuk dengan seksama dan mengenali ketidak-kekalan bentuk tersebut sebagaimana adanya, maka ia mengalami kejijikan terhadap bentuk. Dengan hancurnya kesenangan maka terjadilah penghancuran nafsu; dengan hancurnya nafsu maka terjadilah penghancuran kesenangan. Dengan hancurnya kesenangan dan nafsu maka batin terbebaskan dan dikatakan sebagai terbebaskan dengan baik.

“Para bhikkhu, perhatikanlah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran dengan seksama. Dengan hancurnya kesenangan dan nafsu, maka batin terbebaskan dan dikatakan sebagai terbebaskan dengan baik.”

Upaya Vagga


SN 22.53 : Upaya Sutta [Kesibukan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seseorang yang terlibat dalam kesibukan adalah tidak terbebaskan; seseorang yang tidak terlibat dalam kesibukan adalah terbebaskan. Kesadaran, para bhikkhu, ketika berdiri, mungkin berdiri dengan terlibat pada bentuk; berdasarkan pada bentuk, tegak pada bentuk, dengan percikan kesenangan, ia mungkin berkembang, meningkat, dan meluas. Atau kesadaran, ketika berdiri, mungkin berdiri dengan [terlibat pada perasaan … terlibat pada persepsi …] terlibat pada bentukan-bentukan kehendak; berdasarkan pada bentukan-bentukan kehendak, tegak pada bentukan-bentukan kehendak, dengan percikan kesenangan, ia mungkin berkembang, meningkat, dan meluas.

“Para bhikkhu, walaupun seseorang mungkin mengatakan: ‘Terlepas dari bentuk, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan kehendak, aku akan mengetahui datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kelahirannya kembali, pertumbuhannya, meningkatnya, dan meluasnya’—itu adalah tidak mungkin.

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah meninggalkan nafsu pada unsur bentuk, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika ia telah meninggalkan nafsu pada unsur perasaan … pada unsur persepsi … pada unsur bentukan-bentukan kehendak … pada unsur kesadaran, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran.


“Ketika kesadaran itu tidak terbentuk, tidak berkembang, tidak menghasilkan, maka ia terbebaskan. Dengan terbebaskan, maka ia menjadi kokoh, dengan menjadi kokoh, maka ia puas; dengan menjadi puas, maka ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.54 :  Bīja Sutta [Benih]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada lima jenis benih. Apakah lima itu? Benih-akar, benih-tangkai, benih-ruas, benih-dahan, dan benih-biji sebagai yang ke lima. Jika lima jenis benih ini tidak pecah, tidak cacat, tidak rusak oleh angin dan matahari, subur, ditanam dengan benar, tetapi tidak ada tanah atau air, apakah lima jenis benih ini akan tumbuh, berkembang, dan membesar?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Jika lima jenis benih ini pecah, cacat, rusak oleh angin dan matahari, tidak subur, tidak ditanam dengan benar, tetapi ada tanah dan air, apakah lima jenis benih ini akan tumbuh, berkembang, dan membesar?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Jika lima jenis benih ini tidak pecah, tidak cacat, tidak rusak oleh angin dan matahari, subur, ditanam dengan benar, dan ada tanah dan air, apakah lima jenis benih ini akan tumbuh, berkembang, dan membesar?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, empat stasiun kesadaran harus dilihat seperti unsur tanah. Kesenangan dan nafsu harus dilihat seperti unsur air. Kesadaran bersama dengan makanannya harus dilihat seperti lima jenis benih itu.

“Kesadaran, para bhikkhu, ketika berdiri, mungkin berdiri dengan terlibat pada bentuk; berdasarkan pada bentuk, tegak pada bentuk, dengan percikan kesenangan, ia mungkin berkembang, meningkat, dan meluas. Atau kesadaran, ketika berdiri, mungkin berdiri dengan terlibat pada perasaan … terlibat pada persepsi … terlibat pada bentukan-bentukan kehendak; berdasarkan pada bentukan-bentukan kehendak, tegak pada bentukan-bentukan kehendak, dengan percikan kesenangan, ia mungkin berkembang, meningkat, dan meluas.

“Para bhikkhu, walaupun seseorang mungkin mengatakan: “Terlepas dari bentuk, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan kehendak, aku akan mengetahui datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kelahirannya kembali, pertumbuhannya, meningkatnya, dan meluasnya’—itu adalah tidak mungkin.

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah meninggalkan nafsu pada unsur bentuk, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika ia telah meninggalkan nafsu pada unsur perasaan … pada unsur persepsi … pada unsur bentukan-bentukan kehendak … pada unsur kesadaran, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran.

“Ketika kesadaran tidak terbentuk, tidak berkembang, tidak menghasilkan, maka ia terbebaskan. Dengan terbebaskan, maka ia kokoh; dengan menjadi kokoh, maka ia puas; dengan menjadi puas, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 


SN 22.55 : Udāna Sutta [Ucapan Inspiratif]

Di Sāvatthī. Di sana Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspiratif berikut ini: “‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku’: dengan bertekad demikian, seorang bhikkhu dapat memotong belenggu-belenggu yang lebih rendah.”

Ketika ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, seorang bhikkhu dapat, dengan bertekad: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku,’ memotong belenggu-belenggu yang lebih rendah?”

“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu dari para mulia … menganggap bentuk sebagai diri … atau diri sebagai di dalam kesadaran.

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … perasaan yang tidak kekal sebagai ‘perasaan yang tidak kekal’ … persepsi yang tidak kekal sebagai ‘persepsi yang tidak kekal’ … bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … perasaan yang menyakitkan sebagai ‘perasaan yang menyakitkan’ … persepsi yang menyakitkan sebagai ‘persepsi yang menyakitkan’ … bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’ … perasaan yang tanpa-diri sebagai ‘perasaan yang tanpa-diri’ … persepsi yang tanpa-diri sebagai ‘persepsi yang tanpa-diri’ .. bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’ … perasaan yang terkondisi sebagai ‘perasaan yang terkondisi’ … persepsi yang terkondisi sebagai ‘persepsi yang terkondisi’ … bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi … kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Bentuk akan musnah’ .. ‘Perasaan akan musnah’ … ‘Persepsi akan musnah’ … ‘Bentukan-bentukan kehendak akan musnah’ … ‘Kesadaran akan musnah.’ 

“Siswa mulia yang terpelajar, bhikkhu, yang adalah salah satu dari para mulia … tidak menganggap bentuk sebagai diri … atau diri sebagai di dalam kesadaran.

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’ … kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Bentuk akan musnah’ .. ‘Perasaan akan musnah’ … ‘Persepsi akan musnah’ … ‘Bentukan-bentukan kehendak akan musnah’ … ‘Kesadaran akan musnah.’

“Dengan musnahnya bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran, bhikkhu itu, dengan bertekad: ’Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku,’ dapat memotong belenggu-belenggu yang lebih rendah.”

“Dengan bertekad demikian, Yang Mulia, seorang bhikkhu dapat memotong belenggu-belenggu yang lebih rendah. Tetapi bagaimanakah ia mengetahui, bagaimanakah ia melihat, penghancuran segera atas noda-noda yang muncul?”

“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar menjadi takut atas hal yang tidak menakutkan. Karena ini menakutkan bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku.’ Tetapi siswa mulia yang terpelajar tidak menjadi takut atas hal yang tidak menakutkan. Karena ini tidak menakutkan bagi siswa mulia yang terpelajar: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku.’ 

“Kesadaran, bhikkhu, ketika berdiri, mungkin berdiri dengan terlibat pada bentuk … terlibat pada perasaan … terlibat pada persepsi … terlibat pada bentukan-bentukan kehendak; berdasarkan pada bentukan-bentukan kehendak, tegak pada bentukan-bentukan kehendak, dengan percikan kesenangan, ia mungkin berkembang, meningkat, dan meluas.

“Bhikkhu, walaupun seseorang mungkin mengatakan: ‘Terlepas dari bentuk, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan kehendak, aku akan mengetahui datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kelahirannya kembali, pertumbuhannya, meningkatnya, dan meluasnya’—itu adalah tidak mungkin.

“Bhikkhu, jika seorang bhikkhu telah meninggalkan nafsu pada unsur bentuk, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika ia telah meninggalkan nafsu pada unsur perasaan … pada unsur persepsi … pada unsur bentukan-bentukan kehendak … pada unsur kesadaran, dengan meninggalkan nafsu maka landasannya terpotong: tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran.

“Ketika kesadaran tidak terbentuk, tidak berkembang, tidak menghasilkan, maka ia terbebaskan. Dengan terbebaskan, maka ia kokoh; dengan menjadi kokoh, ia puas; dengan menjadi puas, ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

“Adalah, bhikkhu, bagi seseorang yang mengetahui demikian, bagi seseorang yang melihat demikian, bahwa penghancuran segera atas noda-noda terjadi.” 


SN 22.56 :  Upādāna Sutta [Tahap-tahap Kemelekatan Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada lima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan. Apakah lima itu? Kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan.

“Selama Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kelima kelompok unsur kehidupan ini yang tunduk pada kemelekatan dalam empat tahap, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku mengetahui secara langsung semua ini sebagaimana adanya, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tanpa bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, empat tahap ini? Aku mengetahui secara langsung bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Aku mengetahui secara langsung perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentuk itu? Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Dengan munculnya makanan maka muncul pula bentuk. Dengan lenyapnya makanan, maka lenyap pula bentuk. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui bentuk seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap bentuk, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui bentuk seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, melalui kejijikan terhadap bentuk, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah para Sempurna. Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, perasaan itu? Ada enam kelompok perasaan: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut perasaan. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya perasaan; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui perasaan seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap perasaan, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui perasaan seperti demikian … dan jalan menuju lenyapnya … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, persepsi itu? Ada enam kelompok persepsi: persepsi bentuk, persepsi suara, persepsi bau-bauan, persepsi rasa-kecapan, persepsi objek-sentuhan, persepsi fenomena-pikiran. Ini disebut persepsi. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula persepsi. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula persepsi. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya persepsi; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana mana pun … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak itu? Ada enam kelompok kehendak: Kehendak sehubungan dengan bentuk, kehendak sehubungan dengan suara, kehendak sehubungan dengan bau-bauan, kehendak sehubungan dengan rasa-kecapan, kehendak sehubungan dengan objek-sentuhan, kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran. Ini disebut bentukan-bentukan kehendak. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
“Petapa dan brahmana mana pun … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran itu? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran. Ini disebut kesadaran. Dengan munculnya nama-dan-bentuk, maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula kesadaran. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kesadaran; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap kesadaran, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, melalui kejijikan terhadap kesadaran, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah para Sempurna. Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.” 




SN 22.57 : Sattaṭṭhāna Sutta [Tujuh Kasus]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang terampil dalam tujuh kasus dan adalah seorang penyelidik tiga disebut, dalam Dhamma dan Disiplin ini, seorang Yang Sempurna, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, individu tertinggi.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu terampil dalam tujuh kasus? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami bentuk, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; ia memahami kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk.

“Ia memahami perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; ia memahami kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentuk itu? Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Dengan munculnya makanan, maka muncul pula bentuk. Dengan lenyapnya makanan, maka lenyap pula bentuk. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentuk; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada bentuk: ini adalah kepuasan dalam bentuk. Bentuk itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentuk. Pelenyapan dan pelepasan keinginan dan nafsu pada bentuk: ini adalah jalan membebaskan diri dari bentuk.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui bentuk seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, setelah secara langsung mengetahui kepuasan seperti demikian, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap bentuk, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui bentuk seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, setelah secara langsung mengetahui kepuasan seperti demikian, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, melalui kejijikan terhadap bentuk, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah para Sempurna. Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, perasaan itu? Ada enam kelompok perasaan ini: perasaan yang berasal dari kontak-mata … seperti sutta sebelumnya … perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut perasaan. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya perasaan; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada perasaan: ini adalah kepuasan dalam perasaan. Perasaan itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam perasaan. Pelenyapan dan pelepasan keinginan dan nafsu pada perasaan: ini adalah jalan membebaskan diri dari perasaan.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui perasaan seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, setelah secara langsung mengetahui kepuasan seperti demikian, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari perasaan, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap perasaan, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui perasaan seperti demikian … jalan membebaskan diri dari perasaan … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, persepsi itu? Ada enam kelompok persepsi: persepsi bentuk … persepsi fenomena-pikiran. Ini disebut persepsi. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula persepsi. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula persepsi. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya persepsi; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada persepsi: ini adalah kepuasan dalam persepsi. Persepsi itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam persepsi. Pelenyapan dan pelepasan keinginan dan nafsu pada persepsi: ini adalah jalan membebaskan diri dari persepsi.

“Petapa dan brahmana mana pun … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak itu? Ada enam kelompok kehendak: kehendak sehubungan dengan bentuk … kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran. Ini disebut bentukan-bentukan kehendak. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada bentukan-bentukan kehendak: ini adalah kepuasan dalam bentukan-bentukan kehendak. Bentukan-bentukan kehendak itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentukan-bentukan kehendak. Pelenyapan dan pelepasan keinginan dan nafsu pada bentukan-bentukan kehendak: ini adalah jalan membebaskan diri dari bentukan-bentukan kehendak.

“Petapa dan brahmana mana pun … Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran itu? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata … kesadaran-pikiran. Ini disebut kesadaran. Dengan munculnya nama-dan-bentuk, maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula kesadaran. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kesadaran, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.
“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kesadaran: ini adalah kepuasan dalam kesadaran. Kesadaran itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam kesadaran. Pelenyapan dan pelepasan keinginan dan nafsu pada kesadaran: ini adalah jalan membebaskan diri dari kesadaran.

“Petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, setelah secara langsung mengetahui kepuasan seperti demikian, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari kesadaran, mempraktikkan untuk tujuan kejijikan terhadap kesadaran, demi meluruhnya dan lenyapnya, mereka mempraktikkan dengan baik. Mereka yang mempraktikkan dengan baik telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.

“Dan petapa dan brahmana mana pun, setelah secara langsung mengetahui kesadaran seperti demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, setelah secara langsung mengetahui kepuasan seperti demikian, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari kesadaran, melalui kejijikan terhadap kesadaran, melalui meluruhnya dan lenyapnya, terbebaskan melalui ketidak-melekatan, mereka terbebaskan dengan baik. Mereka yang terbebaskan dengan baik adalah para Sempurna. Sehubungan dengan para Sempurna itu, tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, bahwa bhikkhu itu terampil dalam tujuh kasus.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa seorang bhikkhu adalah penyelidik tiga? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menyelidiki melalui unsur-unsur, melalui landasan-landasan indria, dan melalui kemunculan bergantungan. Dengan cara demikianlah bahwa seorang bhikkhu disebut seorang penyelidik tiga.

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang terampil dalam tujuh kasus dan adalah seorang penyelidik tiga disebut, dalam Dhamma dan Disiplin ini, seorang Yang Sempurna, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, individu tertinggi.”




SN 22.57(*) + AN 2.19(*))  ( Sattaṭṭhāna + Adhikaraṇa 9 Sutta ) 

Tidak ada



SN 22.58 :  Sambuddha Sutta [Yang Tercerahkan Sempurna]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang terbebaskan oleh ketidak-melekatan melalui kejijikan pada bentuk, melalui peluruhan dan lenyapnya, disebut Yang Tercerahkan Sempurna. Seorang bhikkhu yang terbebaskan oleh kebijaksanaan, terbebaskan oleh ketidak-melekatan melalui kejijikan pada bentuk, melalui peluruhan dan lenyapnya, disebut terbebaskan melalui kebijaksanaan.

“Sang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang terbebaskan oleh ketidak-melekatan melalui kejijikan pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak, kesadaran, melalui peluruhan dan lenyapnya, disebut Yang Tercerahkan Sempurna. Seorang bhikkhu yang terbebaskan oleh kebijaksanaan, terbebaskan oleh ketidak-melekatan melalui kejijikan pada perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, melalui peluruhan dan lenyapnya, disebut terbebaskan melalui kebijaksanaan.

“Karena itu, para bhikkhu, apakah yang menjadi perbedaan, kesenjangan, apakah ketidak-samaan antara Sang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan seorang bhikkhu yang terbebaskan oleh kebijaksanaan?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkan dan perhatikanlah, para bhikkhu, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Sang Tathāgata, para bhikkhu, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, adalah penemu jalan yang belum muncul sebelumnya, pembuat jalan yang belum dibuat sebelumnya, yang menyatakan jalan yang belum dinyatakan sebelumnya. Beliau adalah pengenal sang jalan, penemu sang jalan, yang terampil dalam jalan. Dan para siswaNya sekarang berdiam dengan mengikuti jalan tersebut dan setelah itu menjadi memilikinya.

“Ini, para bhikkhu, adalah perbedaan, kesenjangan, ketidak-samaan antara Sang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan seorang bhikkhu yang terbebaskan oleh kebijaksanaan.”



SN 22.59 :  Pañcavaggiya [Anattalakkhaṇa] Sutta [Karakteristik Bukan-diri]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isīpatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan-diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri, maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Tetapi karena bentuk adalah bukan-diri, maka bentuk menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘Biarlah bentukku seperti ini; biarlah bentukku tidak seperti ini.’

“Perasaan adalah bukan-diri … … Persepsi adalah bukan-diri … Bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri … Kesadaran adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, kesadaran adalah diri, maka kesadaran tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’ Tetapi karena kesadaran adalah bukan-diri, maka kesadaran menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘Biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga, Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan pada bentuk, kejijikan pada perasaan, kejijikan pada persepsi, kejijikan pada bentukan-bentukan kehendak, kejijikan pada kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika khotbah ini sedang dibabarkan, batin para bhikkhu dari Kelompok Lima itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. 


SN 22.60 :  Mahāli Sutta [Mahāli]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula beratap lancip. Kemudian Mahāli si Licchavi mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, Pūraṇa Kassapa berkata bahwa: ‘Tidak ada sebab atau kondisi atas kekotoran makhluk-makhluk, makhluk-makhluk terkotori tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada sebab atau kondisi atas pemurnian makhluk-makhluk, makhluk-makhluk dimurnikan tanpa sebab atau kondisi.’ Apakah yang Sang Bhagavā katakan mengenai hal ini?”

“Ada, Mahāli, sebab atau kondisi atas kekotoran makhluk-makhluk, makhluk-makhluk terkotori dengan sebab atau kondisi. Ada sebab atau kondisi atas pemurnian makhluk-makhluk, makhluk-makhluk dimurnikan dengan sebab atau kondisi.”

“Tetapi, Yang Mulia, apakah sebab dan kondisi atas kekotoran makhluk-makhluk? Bagaimanakah makhluk-makhluk dikotori dengan sebab dan kondisi?”

“Jika, Mahāli, bentuk ini semata-mata adalah hanya penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan jika [juga] tidak curam menuju kenikmatan, maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya. Tetapi karena bentuk adalah menyenangkan, tenggelam dalam kenikmatan, curam menuju kenikmatan, dan tidak [hanya] curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk menyukainya. Dengan menyukainya, mereka terpikat padanya, dan dengan terpikat, maka mereka dikotori. Ini, Mahāli, adalah sebab dan kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; demikianlah makhluk-makhluk itu dikotori dengan sebab dan kondisi.

“Jika, Mahāli, perasaan ini semata-mata adalah hanya penderitaan … Jika persepsi ini … bentukan-bentukan kehendak ini … … kesadaran ini semata-mata adalah hanya penderitaan … maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya. Tetapi karena kesadaran adalah menyenangkan … makhluk-makhluk menyukainya. Dengan menyukainya, mereka terpikat padanya, dan dengan terpikat, maka mereka dikotori. Ini juga, Mahāli, adalah sebab dan kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; demikianlah makhluk-makhluk itu dikotori dengan sebab dan kondisi.”

“Tetapi, Yang Mulia, apakah sebab dan kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk? Bagaimanakah makhluk-makhluk dimurnikan dengan sebab dan kondisi?”

“Jika, Mahāli, bentuk ini semata-mata adalah hanya kesenangan, tenggelam dalam kenikmatan, curam menuju kenikmatan, dan jika [juga] tidak curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya. Tetapi karena bentuk adalah penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan tidak [hanya] curam menuju kesenangan, maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya. Dengan mengalami kejijikan, mereka menjadi bosan. Dan melalui kebosanan, mereka dimurnikan. Ini, Mahāli, adalah sebab dan kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; demikianlah makhluk-makhluk itu dimurnikan dengan sebab dan kondisi.

“Jika, Mahāli, perasaan ini semata-mata adalah hanya kesenangan … Jika persepsi ini … bentukan-bentukan kehendak ini … kesadaran ini semata-mata adalah hanya kesenangan, … maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya. Tetapi karena kesadaran adalah penderitaan … maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya. Dengan mengalami kejijikan, mereka menjadi bosan, dan melalui kebosanan, mereka dimurnikan. Ini juga, Mahāli, adalah sebab dan kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; demikianlah makhluk-makhluk itu dimurnikan dengan sebab dan kondisi.” 


SN 22.61 :  Āditta Sutta [Terbakar]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk terbakar, perasaan terbakar, persepsi terbakar, bentukan-bentukan kehendak terbakar, kesadaran terbakar. Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, di sana muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.62 : Niruttipatha Sutta [Cara Berbahasa]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada tiga cara berbahasa, cara penyebutan, cara penggambaran, yang tidak tercampur, yang tidak pernah tercampur, yang tidak sedang dicampur, yang tidak akan dicampur, yang tidak ditolak oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Apakah tiga itu?

“Bentuk apa pun, para bhikkhu, telah berlalu, lenyap, berubah: sebutan, label, dan penggambaran ‘telah’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘sedang’ atau sebutan ‘akan.’

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun …Bentukan-bentukan kehendak apa pun … Kesadaran apa pun telah berlalu, lenyap, berubah: sebutan, label, dan penggambaran ‘telah’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘sedang’ atau sebutan ‘akan.’

“Bentuk apa pun, para bhikkhu, yang belum muncul, belum terwujud: sebutan, label, dan penggambaran ‘akan’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘sedang’ atau sebutan ‘telah.’
“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan-bentukan kehendak apa pun … Kesadaran apa pun yang belum muncul, belum terwujud: sebutan, label, dan penggambaran ‘akan’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘sedang’ atau sebutan ‘telah.’

“Bentuk apa pun, para bhikkhu, yang telah muncul, telah terwujud: sebutan, label, dan penggambaran ‘sedang’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘telah’ atau ‘akan.’

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan-bentukan kehendak apa pun … Kesadaran apa pun yang telah muncul, telah terwujud: sebutan, label, dan penggambaran ‘sedang’ digunakan padanya, bukan sebutan ‘telah’ atau ‘akan.’

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga cara berbahasa, cara penyebutan, cara penggambaran, yang tidak tercampur, yang tidak pernah tercampur, yang tidak sedang dicampur, yang tidak akan tercampur, yang tidak ditolak oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Para bhikkhu, bahkan Vassa dan Bañña dari Ukkalā, penganut doktrin tanpa penyebab, doktrin ketidak-efektifan perbuatan dan doktrin nihilisme, tidak menganggap bahwa ketiga cara berbahasa ini, cara penyebutan, cara penggambaran ini dapat dikritik atau dicela. Karena apakah? Karena mereka takut dicela, diserang, dan dikritik.” 


Arahatta Vagga


SN 22.63 : Upādiya Sutta [Dengan Melekat]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh.”

“Bhikkhu, dengan melekat, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat, ia terbebas dari si Jahat.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci atas apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Dengan melekat pada bentuk, Yang Mulia, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat padanya, ia terbebas dari si Jahat. Dengan melekat pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran, ia terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat padanya ia terbebas dari si Jahat.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci atas apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Dengan melekat pada bentuk, bhikkhu, seseorang terjerat oleh Māra … seperti di atas secara lengkap

… dengan tidak melekat padanya, ia terbebas dari si Jahat. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”

Kemudian bhikkhu itu, senang dan gembira atas kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia pergi.


Kemudian, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, bhikkhu itu, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang tanpa bandingnya yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant. 



SN 22.63–65 :  Upādiya – Abhinandana Sutta [Dengan Melekat]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh.”

“Bhikkhu, dengan melekat, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat, ia terbebas dari si Jahat.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci atas apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Dengan melekat pada bentuk, Yang Mulia, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat padanya, ia terbebas dari si Jahat. Dengan melekat pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran, ia terjerat oleh Māra; dengan tidak melekat padanya ia terbebas dari si Jahat.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci atas apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Dengan melekat pada bentuk, bhikkhu, seseorang terjerat oleh Māra … seperti di atas secara lengkap

… dengan tidak melekat padanya, ia terbebas dari si Jahat. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”

Kemudian bhikkhu itu, senang dan gembira atas kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia pergi.

Kemudian, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, bhikkhu itu, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang tanpa bandingnya yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.



SN 22.64 :  Maññamāna Sutta [Dengan Mengkonsepsikan]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat …”

“Bhikkhu, dengan mengkonsepsikan, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mengkonsepsikan, ia terbebas dari si Jahat.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci atas apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Dengan mengkonsepsikan bentuk, Yang Mulia, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mengkonsepsikannya, ia terbebas dari si Jahat. Dengan mengkonsepsikan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mengkonsepsikannya, ia terbebas dari si Jahat.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Dengan mengkonsepsikan bentuk, bhikkhu, seseorang terjerat oleh Māra … seperti di atas secara lengkap

… dengan tidak mengkonsepsikannya ia terbebas dari si Jahat. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”
… Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.


SN 22.65 :  Abhinandana Sutta [Dengan Mencari Kesenangan]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat …”

“Bhikkhu, dengan mencari kesenangan, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mencari kesenangan, seseorang terbebas dari si Jahat.”

“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Dengan mencari kesenangan di dalam bentuk, Yang Mulia, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mencari kesenangan di dalamnya, ia terbebas dari si Jahat. Dengan mencari kesenangan di dalam perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, seseorang terjerat oleh Māra; dengan tidak mencari kesenangan di dalamnya, ia terbebas dari si Jahat.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Dengan mencari kesenangan di dalam bentuk, bhikkhu, seseorang terjerat oleh Māra … seperti di atas secara lengkap

… dengan tidak mencari kesenangan di dalamnya, ia terbebas dari si Jahat. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.”

… Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant. 



SN 22.66 :  Anicca Sutta [ Tidak Kekal]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: 

“Yang Mulia, sudilah Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat …”
“Bhikkhu, engkau harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang tidak kekal.”
“Dimengerti, Bhagavā! Dipahami, Yang Sempurna!”

“Dalam cara bagaimanakah, bhikkhu, engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat?”

“Bentuk, Yang Mulia, adalah tidak-kekal; aku harus melepaskan keinginan terhadapnya. Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal; aku harus melepaskan keinginan terhadapnya.

“Demikianlah, Yang Mulia, aku memahami secara terperinci apa yang dikatakan secara singkat oleh Bhagavā.”

“Bagus, bagus, bhikkhu! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci apa yang Kukatakan secara singkat. Bentuk adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal; engkau harus melepaskan keinginan terhadapnya. Demikianlah makna atas apa yang Kukatakan secara singkat seharusnya dipahami secara terperinci.” 

… Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant. 


SN 22.67 :  Dukkha Sutta [Penderitaan]

Bagian pembukaan sama seperti sutta sebelumnya:
… “Bhikkhu, engkau harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang merupakan penderitaan.” 


SN 22.68 :  Anatta Sutta [Bukan-diri]

… “Bhikkhu, engkau harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang bukan-diri.” … 


SN 22.69 : Anattaniya Sutta [Apa Yang Bukan Milik Diri]

… “Bhikkhu, engkau harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang bukan milik diri.” … 


SN 22.70 :  Rajanīya Sutta [Apa yang Terlihat Menggoda]

… “Bhikkhu, engkau harus melepaskan keinginan terhadap apa pun yang terlihat menggoda.” … 



SN 22.71 : Rādha Sutta [Rādha]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Rādha mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”

“Bentuk apa pun juga, Rādha, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan kehendak apa pun juga… Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rādha, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya.”

Kemudian Yang Mulia Rādha … menjadi salah satu di antara para Arahant. 



SN 22.72  : Surādha Sutta [Surādha]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Surādha mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: 

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka batin terbebas dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan dengan baik?”

“Bentuk apa pun juga, Surādha, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang … jauh atau dekat—setelah melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ maka ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.
“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—setelah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ maka ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Surādha, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, batin terbebas dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan dengan baik.”

Kemudian Yang Mulia Surādha … menjadi salah satu di antara para Arahant.



Khajjanīya Vagga



SN 22.73 :  Assāda Sutta [Kepuasan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran.

“Tetapi, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran.”


SN 22.74 :  Samudaya 1 Sutta [Asal-mula (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran.

“Tetapi, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran.”



SN 22.75 :  Samudaya 2 Sutta  [ Asal-mula (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran.” 



SN 22.76 :  Arahanta 1 Sutta [Para Arahant (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa yang merupakan penderitaan adalah bukan-diri. Apa yang bukan-diri harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan pada bentuk, kejijikan pada perasaan, kejijikan pada persepsi, kejijikan pada bentukan-bentukan kehendak, kejijikan pada kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Sejauh mana pun, para bhikkhu, terdapat alam kehidupan makhluk-makhluk, bahkan hingga penjelmaan yang tertinggi, mereka ini adalah yang terunggul di dunia, mereka ini adalah yang terbaik, para Arahant.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal itu, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Sungguh bahagia para Arahant!
Tidak ada ketagihan dapat ditemukan dalam diri mereka.
Keangkuhan ‘Aku’ terpotong,
Jaring delusi meledak hancur.
“Mereka telah mencapai kondisi tanpa pergolakan,
Pikiran mereka jernih;
Mereka tidak ternodai di dunia ini—
Yang suci, tanpa noda.
“Setelah memahami sepenuhnya lima kelompok unsur kehidupan,
Berjajar dalam tujuh kualitas baik,
Para manusia mulia yang layak dipuji itu
Adalah putra yang lahir dari dada Sang Buddha.
“Memiliki tujuh permata,
Terlatih dalam tiga latihan,
Para pahlawan besar itu mengembara
Dengan ketakutan dan gemetar ditinggalkan.
“Memiliki sepuluh faktor,
Para nāga agung itu, terkonsentrasi,
Adalah makhluk terbaik di dunia:
Tidak ada ketagihan ditemukan dalam diri mereka.

“Pengetahuan terampil telah muncul dalam diri mereka:

‘Jasmani ini adalah yang terakhir kubawa.’
Sehubungan dengan inti kehidupan suci
Mereka tidak lagi bergantung pada orang lain. 
“Mereka tidak bimbang dalam perbedaan,
Mereka terlepas dari kelahiran kembali.
Setelah mencapai tahap dijinakkan,
Mereka adalah pemenang di dunia.
“Ke atas, ke sekeliling, dan ke bawah,
Kesenangan tidak lagi ditemukan dalam diri mereka.
Mereka dengan tegas mengaumkan auman singa mereka:
‘Yang tercerahkan adalah yang tertinggi di dunia.’” 



SN 22.77 :  Arahanta 2 Sutta[ Para Arahant (2)]

Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dengan pengecualian bahwa bagian syair-syairnya dihilangkan.


SN 22.78 :  Sīhopama Sutta [Singa]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, di malam hari sang singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya. Setelah keluar, ia meregangkan badannya, mengamati empat penjuru, dan mengaumkan auman singanya tiga kali. Kemudian ia pergi berburu. 

“Ketika sang singa, raja binatang buas, mengaum, binatang apa pun yang mendengarkan suara itu sebagian besar dari mereka merasa ketakutan, suatu rasa keterdesakan, dan teror. Mereka yang hidup di lubang-lubang memasuki lubang-lubangnya; mereka yang hidup di air memasuki air; mereka yang hidup di hutan memasuki hutan; dan burung-burung terbang ke angkasa. Bahkan gajah-gajah kerajaan, yang terikat oleh tali yang kuat di desa-desa dan kota-kota, memberontak dan mematahkan belenggu mereka; ketakutan, mereka sampai mengeluarkan kotoran dan berlari kesana-kemari. Begitu berkuasanya, para bhikkhu, sang singa itu, sang raja binatang buas, di antara para binatang, begitu agung dan perkasa.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika Sang Tathāgata muncul di dunia ini, Sang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, penuntun tiada taranya bagi makhluk-makhluk yang layak dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā, Beliau mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah bentukan-bentukan kehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.’

“Kemudian, para bhikkhu, ketika para deva itu yang berumur panjang, indah, memiliki kebahagiaan berlimpah, berdiam dalam waktu yang lama di dalam istana-istana megah, mendengarkan Ajaran Dhamma Sang Tathāgata, sebagian besar dari mereka merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan teror, [dengan mengatakan]: ‘Sepertinya, Tuan, kita adalah tidak kekal, walaupun kita pikir diri kita adalah kekal; sepertinya, Tuan, kita adalah tidak stabil, walaupun kita pikir diri kita adalah stabil; sepertinya, Tuan, kita tidak-abadi, walaupun kita pikir diri kita abadi. Sepertinya, Tuan, kita adalah tidak-kekal, tidak-stabil, tidak-abadi, termasuk di dalam identitas.’ Begitu berkuasanya, para bhikkhu, Sang Tathāgata itu, atas dunia ini bersama dengan para deva-nya, begitu agung dan perkasa.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal itu, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan: 

“Ketika Sang Buddha, melalui pengetahuan langsung,
Memutar Roda Dhamma,
Guru tanpa tandingan di dunia ini

Bersama dengan para deva [menyatakan sebagai berikut]:

“Lenyapnya identitas
Dan asal-mula identitas,
Juga Jalan Mulia Berunsur Delapan
Yang menuju pada redanya penderitaan.
“Kemudian para deva itu yang berumur panjang,
Indah, dengan keagungan gemerlap,
Dilanda ketakutan, merasakan teror,
Bagaikan binatang yang mendengarkan auman singa.
“‘Kita belum melampaui identitas;
Sepertinya, Tuan, kita adalah tidak-kekal,’
[Demikianlah mereka berkata] setelah mendengarkan ucapan
Sang Arahant, Yang Stabil yang telah terbebaskan.” 



SN 22.79 : Khajjanīya Sutta [ Dilahap]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang mengingat banyak kehidupan lampau mereka, semuanya mengingat lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan atau salah satu di antaranya. Apakah lima itu?

“Ketika mengingat sebagai berikut, para bhikkhu: ‘Aku memiliki bentuk demikian di masa lampau,’ adalah hanya bentuk yang diingatnya. Ketika mengingat: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lampau,’ adalah hanya perasaan yang diingatnya. Ketika mengingat: ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lampau,’ adalah hanya persepsi yang diingatnya. Ketika mengingat: ‘Aku memiliki bentukan-bentukan kehendak demikian di masa lampau,’ adalah hanya bentukan-bentukan kehendak yang diingatnya. Ketika mengingat: ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lampau,’ adalah hanya kesadaran yang diingatnya.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya bentuk? ‘Bentuk itu rusak,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentuk. Rusak oleh apakah? Rusak oleh dingin, rusak oleh panas, rusak oleh lapar, rusak oleh haus, rusak oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan ular. ‘Bentuk itu rusak,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentuk.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya perasaan? ‘Karena ia merasakan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan. Dan apakah yang dirasakan? Ia merasakan kesenangan, ia merasakan kesakitan, ia merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan. ‘Ia merasakan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya persepsi? ‘Ia mempersepsikan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi. Dan apakah yang dipersepsikan? Ia mempersepsikan biru, ia mempersepsikan kuning, ia mempersepsikan merah, ia mempersepsikan putih. ‘Ia mempersepsikan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi.

“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya bentukan-bentukan kehendak? ‘Ia membangun kondisi,’ para bhikkhu, oleh karena itu ia disebut bentukan-bentukan kehendak. Dan kondisi apakah yang dibangun? Ia membangun bentuk terkondisi sebagai bentuk; ia membangun perasaan terkondisi sebagai perasaan; ia membangun persepsi terkondisi sebagai persepsi; ia membangun bentukan-bentukan kehendak terkondisi sebagai bentukan-bentukan kehendak; ia membangun kesadaran terkondisi sebagai kesadaran. ‘Ia membangun kondisi,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentukan-bentukan kehendak.

‘Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia kenali? Ia mengenali rasa asam, ia mengenali rasa pahit, ia mengenali rasa pedas, ia mengenali rasa manis, ia mengenali rasa sangat pedas, ia mengenali rasa lembut, ia mengenali rasa asin, ia mengenali lunak. ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran.

“Di sana, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar merenungkan sebagai berikut: ‘Aku sekarang sedang dilahap oleh bentuk. Di masa lalu juga aku dilahap oleh bentuk dengan cara yang sama seperti aku sekarang sedang dilahap oleh bentuk yang sekarang ini. Jika aku mencari kesenangan dalam bentuk di masa depan, maka di masa depan juga aku akan dilahap oleh bentuk dengan cara yang sama seperti aku sekarang sedang dilahap oleh bentuk yang sekarang ini.’ Setelah merenungkan demikian, ia menjadi tidak tertarik dengan bentuk di masa lalu, ia tidak mencari kesenangan pada bentuk di masa depan, dan ia mempraktikkan demi kejijikan terhadap bentuk yang sekarang ini, demi peluruhan dan lenyapnya.

“[Ia merenungkan sebagai berikut:] ‘Aku sekarang sedang dilahap oleh perasaan … ‘Aku sekarang sedang dilahap oleh persepsi’ … ‘Aku sekarang sedang dilahap oleh bentukan-bentukan kehendak.’ … ‘Aku sekarang sedang dilahap oleh kesadaran. Di masa lalu juga aku dilahap oleh kesadaran dengan cara yang sama seperti aku sekarang sedang dilahap oleh kesadaran yang sekarang ini. Jika aku mencari kesenangan dalam kesadaran di masa depan, maka di masa depan juga aku akan dilahap oleh kesadaran dengan cara yang sama seperti aku sekarang sedang dilahap oleh kesadaran yang sekarang ini.’ Setelah merenungkan demikian, ia menjadi tidak tertarik dengan kesadaran di masa lalu, ia tidak mencari kesenangan pada kesadaran di masa depan, dan ia mempraktikkan demi kejijikan terhadap kesadaran yang sekarang ini, demi peluruhan dan lenyapnya.

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, segala bentuk apa pun … Segala perasaan apa pun … Segala persepsi apa pun … Segala bentukan-bentukan kehendak apa pun … Segala kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Ini disebut, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang membongkar dan tidak membangun; yang melepaskan dan tidak melekat; yang menebarkan dan tidak mengumpulkan; yang memadamkan dan tidak menyalakan.

“Dan apakah yang ia bongkar dan tidak membangun? Ia membongkar bentuk dan tidak membangunnya. Ia membongkar perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran dan tidak membangunnya.

“Dan apakah yang ia lepaskan dan tidak melekatinya? Ia melepaskan bentuk dan tidak melekatinya. Ia melepaskan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran dan tidak melekatinya.

“Dan apakah yang ia tebarkan dan tidak kumpulkan? Ia menebarkan bentuk dan tidak mengumpulkannya. Ia menebarkan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran dan tidak mengumpulkannya. 

“Dan apakah yang ia padamkan dan tidak nyalakan? Ia memadamkan bentuk dan tidak menyalakannya. Ia memadamkan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran dan tidak menyalakannya.

“Dengan melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Ini disebut, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang tidak membangun juga tidak membongkar, melainkan yang berdiam setelah membongkar; yang tidak melepaskan juga tidak melekat, melainkan yang berdiam setelah melepaskan; yang tidak menebarkan juga tidak mengumpulkan, melainkan yang berdiam setelah menebarkan; yang tidak memadamkan juga tidak menyalakan, melainkan yang berdiam setelah memadamkan.

“Dan apakah, para bhikkhu, yang tidak ia bangun juga tidak ia bongkar, melainkan berdiam setelah membongkar? Ia tidak membangun juga tidak membongkar bentuk, melainkan berdiam setelah membongkarnya. Ia tidak membangun juga tidak membongkar perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, melainkan berdiam setelah membongkarnya.

“Dan apakah yang tidak ia lepaskan juga tidak ia lekati, melainkan berdiam setelah melepaskan? Ia tidak melepaskan juga tidak melekati bentuk, melainkan berdiam setelah melepaskannya ia tidak melepaskan juga tidak melekati perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, melainkan berdiam setelah melepaskannya.

“Dan apakah yang tidak ia tebarkan juga tidak ia kumpulkan, melainkan berdiam setelah menebarkan? Ia tidak menebarkan juga tidak mengumpulkan bentuk, melainkan berdiam setelah menebarkannya. Ia tidak menebarkan juga tidak mengumpulkan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, melainkan berdiam setelah menebarkannya.

“Dan apakah yang tidak ia padamkan juga tidak ia nyalakan, melainkan berdiam setelah memadamkannya? Ia tidak memadamkan juga tidak menyalakan bentuk, melainkan berdiam setelah memadamkannya. Ia tidak memadamkan juga tidak menyalakan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran, melainkan berdiam setelah memadamkannya.

“Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu terbebaskan dalam batin seperti demikian, para deva bersama dengan Indra, Brahmā, dan Pajāpati memberi hormat kepadanya dari jauh: 

“’Hormat kepadamu, O manusia berdarah murni!
Hormat kepadamu, O yang tertinggi di antara manusia!
Kami sendiri tidak mengetahui secara langsung
Bergantung pada apakah engkau bermeditasi.’” 



SN 22.80 :  Piṇḍolya Sutta [Pengumpul-Dana]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah meninggalkan para bhikkhu untuk suatu alasan tertentu, merapikan jubahNya di pagi hari dan membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Ia telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Ia pergi ke Hutan Besar untuk melewatkan hari. Setelah memasuki Hutan Besar, Beliau duduk di bawah anak pohon beluva untuk melewatkan hari.

Kemudian, ketika Sang Bhagavā sedang sendiri dalam keterasingan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranNya sebagai berikut: “Aku telah membubarkan Saṅgha para bhikkhu. Terdapat para bhikkhu yang baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja bergabung dalam Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak bertemu denganKu, mungkin mereka akan mengalami perubahan. Seperti halnya anak sapi yang tidak bertemu dengan induknya mungkin akan mengalami perubahan, demikian pula, para bhikkhu yang baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja bergabung dalam Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak bertemu denganKu, mungkin mereka akan mengalami perubahan. Seperti halnya benih muda yang tidak memperoleh air, mungkin akan mengalami perubahan, demikian pula para bhikkhu yang baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja bergabung dalam Dhamma dan Disiplin ini. Jika mereka tidak bertemu denganKu, mungkin mereka akan mengalami perubahan. Biarlah Aku membantu Saṅgha para bhikkhu sekarang seperti yang telah Kulakukan di masa lalu.”
Kemudian Brahmā Sahampati, setelah dengan pikirannya sendiri mengetahui perenungan dalam pikiran Sang Bhagavā, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, lenyap dari alam brahmā dan muncul kembali di hadapan Sang Bhagavā. Ia merapikan jubah atasnya di atas bahu, merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Demikianlah, Bhagavā! Memang demikian, Yang Sempurna! Saṅgha para bhikkhu telah dibubarkan oleh Sang Bhagavā. Terdapat para bhikkhu yang baru ditahbiskan … seperti di atas, termasuk perumpamaan-perumpamaannya … Jika mereka tidak bertemu dengan Sang Bhagavā, mungkin mereka akan mengalami perubahan. Sudilah Sang Bhagavā membantu Saṅgha para bhikkhu sekarang seperti yang telah Beliau lakukan di masa lalu.”

Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri. Kemudian Brahmā Sahampati, setelah memahami persetujuan Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Kemudian pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keheninganNya dan pergi ke Taman Nigrodha. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan melakukan keajaiban dengan kekuatan gaibNya sehingga para bhikkhu, dengan merasa agak takut, mendatangiNya, sendirian atau berpasangan. Kemudian para bhikkhu itu, dengan merasa agak takut, mendekati Sang Bhagavā, sendirian atau berpasangan. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada mereka:

“Para bhikkhu, ini adalah bentuk penghidupan terendah, yaitu, mengumpulkan dana. Dalam istilah duniawi ini adalah sebutan kasar: ‘Kalian pengumpul-dana; kalian mengembara dengan mangkuk pengemis di tangan kalian!’ Namun demikian, para bhikkhu, orang-orang berniat baik dalam menjalani kehidupan demikian demi alasan yang tepat. Bukan karena mereka dipaksa oleh raja agar melakukan hal itu, juga bukan karena mereka dipaksa oleh penjahat, juga bukan karena hutang, juga bukan karena takut, juga bukan untuk mencari penghidupan. Melainkan mereka melakukannya dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat!’

“Dengan alasan demikianlah, para bhikkhu, orang-orang ini meninggalkan keduniawian. Namun ia tamak, terbakar oleh nafsu pada kenikmatan indria, dengan pikiran penuh dengan permusuhan, dengan niat yang dikotori oleh kebencian, dengan pikiran-kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran berhamburan, indrianya mengendur. Bagaikan arang dari kayu api pemakaman, yang terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di tengahnya, tidak dapat digunakan sebagai kayu bangunan di desa atau di hutan, dan dengan cara yang sama Aku mengatakan tentang orang ini: ia telah kehilangan kenikmatan sebagai perumah tangga, namun ia tidak memenuhi tujuan pertapaan.

“Ada, para bhikkhu, tiga jenis pikiran tidak bermanfaat ini: pikiran indriawi, pikiran permusuhan, pikiran-mencelakai. Dan di manakah, para bhikkhu, ketiga pikiran tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa? Bagi seseorang yang berdiam dengan pikiran kokoh dalam empat penegakan perhatian, atau bagi seseorang yang mengembangkan konsentrasi tanpa-gambaran. Ini cukup beralasan, para bhikkhu, untuk mengembangkan konsentrasi tanpa-gambaran. Ketika konsentrasi tanpa-gambaran dikembangkan dan dilatih, para bhikkhu, maka itu akan berbuah dan bermanfaat besar.

“Ada, para bhikkhu, dua pandangan ini: pandangan penjelmaan dan pandangan pemusnahan. Di sana, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah di dunia ini yang dapat kulekati tanpa menjadi tercela?’ Ia memahami: ‘Tidak ada apa pun di dunia ini yang dapat kulekati tanpa menjadi tercela. Karena jika aku melekat, hanyalah bentuk yang dapat kulekati, hanyalah perasaan … hanyalah persepsi … hanyalah bentukan-bentukan kehendak … hanyalah kesadaran yang dapat kulekati. Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka akan ada penjelmaan, dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan akan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Dengan melihat demikian … ia memahami: ‘ … Tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’” 



SN 22.81 :  Pārileyyaka Sutta  [Pārileyya]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita.

Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Kosambī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kosambī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau sendiri merapikan tempat kediamanNya, membawa mangkuk dan jubahNya, dan tanpa memberitahu pelayan pribadiNya, tanpa berpamitan dengan Bhikkhu Saṅgha, Beliau pergi melakukan perjalanan sendirian, tanpa seorang pun menyertai Beliau.

Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan memberitahunya: “Sahabat Ānanda, Sang Bhagavā sendiri telah merapikan tempat kediamanNya, membawa mangkuk dan jubahNya, dan tanpa memberitahu pelayan pribadiNya, tanpa berpamitan dengan Bhikkhu Saṅgha, Beliau pergi melakukan perjalanan sendirian, tanpa seorang pun menyertai Beliau.”

“Sahabat, ketika Sang Bhagavā pergi seperti itu, Beliau ingin berdiam sendirian. Pada kesempatan demikian Sang Bhagavā seharusnya tidak diganggu oleh siapa pun.”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan mengembara secara bertahap, sampai di Pārileyyaka. Di sana di Pārileyyaka Sang Bhagavā menetap di bawah sebatang pohon sal besar.

Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Sahabat Ānanda, sudah lama sejak kami mendengarkan khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā. Kami ingin mendengarkan khotbah Dhamma seperti itu lagi, sahabat Ānanda.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda bersama dengan para bhikkhu itu mendatangi Sang Bhagavā di Pārileyyaka, di bawah pohon Sal besar. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu itu dengan khotbah Dhamma. Pada saat itu suatu pemikiran muncul dalam pikiran seorang bhikkhu sebagai berikut: “Bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah ia melihat, demi penghancuran segera atas noda-noda?

Sang Bhagavā, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui pemikiran dalam pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Dhamma ini telah Kuajarkan dengan pengelompokan. Empat penegakan perhatian telah Kuajarkan dengan pengelompokan. Empat usaha benar … Empat landasan kekuatan spiritual … Lima indria spiritual … Lima kekuatan … Tujuh faktor pencerahan … Jalan Mulia Berunsur Delapan telah Kuajarkan dengan pengelompokan. Para bhikkhu, sehubungan dengan Dhamma yang telah Kuajarkan dengan pengelompokan ini, suatu pemikiran muncul dalam pikiran seorang bhikkhu sebagai berikut: ‘Bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah ia melihat, demi penghancuran segera atas noda-noda?’

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang mengetahui, bagaimanakah ia melihat, demi penghancuran segera dari noda-noda? Di sini, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri. Anggapan itu, para bhikkhu, adalah suatu bentukan. Bentukan itu—apakah sumbernya, apakah asal-mulanya, dari manakah munculnya dan dihasilkan? Ketika kaum duniawi yang tidak terpelajar mengalami kontak dengan perasaan yang berasal dari kontak-ketidaktahuan, maka ketagihan muncul: kemudian bentukan itu muncul.

“Demikianlah, para bhikkhu, bentukan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; ketagihan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; perasaan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; kontak itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; ketidaktahuan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan. Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, para bhikkhu, maka terjadilah penghancuran segera atas noda-noda.

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri, tetapi ia menganggap diri sebagai memiliki bentuk. Anggapan itu adalah suatu bentukan … semuanya seperti di atas … Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, para bhikkhu, maka terjadilah penghancuran segera atas noda-noda.

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri atau diri sebagai memiliki bentuk, tetapi ia menganggap bentuk sebagai di dalam diri. Anggapan itu adalah suatu bentukan …

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri atau diri sebagai memiliki bentuk atau bentuk sebagai di dalam diri, tetapi ia menganggap diri sebagai di dalam bentuk. Anggapan itu adalah suatu bentukan … 

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri … atau diri sebagai di dalam bentuk, tetapi ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri … diri sebagai di dalam kesadaran. Anggapan itu adalah suatu bentukan … Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, para bhikkhu, maka terjadilah penghancuran segera atas noda-noda.

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri … … atau diri sebagai di dalam kesadaran, tetapi ia menganut pandangan sebagai berikut: ‘Apa yang merupakan diri adalah dunia; setelah meninggal dunia, bahwa aku akan—kekal, stabil, abadi, tidak tunduk pada perubahan.’ Pandangan keabadian itu adalah suatu bentukan … Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, para bhikkhu, maka terjadilah penghancuran segera atas noda-noda.

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri … atau menganut pandangan [keabadian] demikian, tetapi ia menganut pandangan sebagai berikut: ‘Sebelumnya aku tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; aku tidak akan ada, [dan] tidak akan ada bagiku.’ Pandangan pemusnahan demikian adalah suatu bentukan …

“Ia mungkin tidak menganggap bentuk sebagai diri … atau menganut pandangan [pemusnahan] demikian, tetapi ia bimbang, ragu, tidak pasti sehubungan dengan Dhamma sejati. Kebimbangan, keraguan, ketidak-pastian sehubungan dengan Dhamma sejati itu adalah suatu bentukan. Bentukan itu—apakah sumbernya, apakah asal-mulanya, dari manakah munculnya dan dihasilkan? Ketika kaum duniawi yang tidak terpelajar mengalami kontak dengan perasaan yang berasal dari kontak-ketidaktahuan, maka ketagihan muncul: kemudian bentukan itu muncul.

“Maka bentukan itu, para bhikkhu, adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; ketagihan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; perasaan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; kontak itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan; ketidaktahuan itu adalah tidak kekal, terkondisikan, muncul bergantungan. Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, para bhikkhu, maka terjadilah penghancuran segera atas noda-noda.” 



SN 22.82 :  Puṇṇamā Sutta [Malam Bulan-Purnama]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra, bersama dengan Saṅgha para bhikkhu. Pada saat itu—hari Uposatha tanggal lima belas, malam bulan-purnama—Sang Bhagavā duduk di ruang terbuka dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu.
Kemudian seorang bhikkhu bangkit dari duduknya, merapikan jubah atasnya di satu bahu, merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, aku ingin bertanya kepada Bhagavā mengenai hal tertentu, jika Bhagavā sudi menjawab pertanyaanku.”

“Baiklah, bhikkhu, duduklah dan tanyakan apa pun yang engkau ingin tanyakan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia duduk di tempatnya dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bukankah kelima kelompok unsur kehidupan ini tunduk pada kemelekatan, Yang Mulia: yaitu, kelompok unsur bentuk tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran tunduk pada kemelekatan?”
“Itu adalah lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, bhikkhu: yaitu, kelompok unsur bentuk tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran tunduk pada kemelekatan.”

Dengan mengatakan, “Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Tetapi, Yang Mulia, dalam apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini berakar?”

“Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu, bhikkhu, berakar dalam keinginan.”

“Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan ini, atau apakah kemelekatan adalah sesuatu yang berbeda dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan?”

“Para bhikkhu, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan, juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang berbeda dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Melainkan, keinginan dan nafsu terhadapnya, itulah kemelekatan di sana.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Tetapi, Yang Mulia, mungkinkah ada keragaman dalam keinginan dan nafsu terhadap lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki perasaan seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki persepsi seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki bentukan-bentukan kehendak seperti ini di masa depan! Semoga aku memiliki kesadaran seperti ini di masa depan!
’ Demikianlah, bhikkhu, mungkin saja terdapat keragaman dalam keinginan dan nafsu terhadap lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Dengan cara bagaimanakah, Yang Mulia, sebutan ‘kelompok unsur kehidupan’ dipergunakan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan?”

“Bentuk apa pun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur bentuk. Perasaan apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur perasaan. Persepsi apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur persepsi. Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak. Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat: ini disebut kelompok unsur kesadaran. Dengan cara inilah, bhikkhu, sebutan ‘kelompok unsur kehidupan’ dipergunakan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu … mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Apakah sebab dan kondisi, Yang Mulia, bagi terwujudnya kelompok unsur bentuk? Apakah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur perasaan? … bagi terwujudnya kelompok unsur persepsi? … bagi terwujudnya kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak? … bagi terwujudnya kelompok unsur kesadaran?”

“Empat unsur utama, bhikkhu, adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur bentuk. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur perasaan. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur persepsi. Kontak adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak. Nama-dan-bentuk adalah sebab dan kondisi bagi terwujudnya kelompok unsur kesadaran.”

“Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas muncul?”

“Di sini, bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Inilah bagaimana pandangan identitas muncul.”

“Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah pandangan identitas itu tidak muncul?”

“Di sini, bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu di antara para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang merupakan salah satu di antara orang-orang superior dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Inilah bagaimana pandangan identitas itu tidak muncul.”

“Apakah, Yang Mulia, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari bentuk? Apakah kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari perasaan? … dari persepsi? … dari bentukan-bentukan kehendak? … dari kesadaran?”

“Kenikmatan dan kegembiraan, bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada bentuk: ini adalah kepuasan dalam bentuk. Bentuk itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam bentuk. Lenyapnya dan lepasnya keinginan dan nafsu pada bentuk: ini adalah jalan membebaskan diri dari bentuk. Kenikmatan dan kegembiraan, bhikkhu, yang muncul dengan bergantung pada perasaan … dengan bergantung pada persepsi … dengan bergantung pada bentukan-bentukan kehendak … dengan bergantung pada kesadaran: ini adalah kepuasan dalam kesadaran. Kesadaran itu tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam kesadaran. Lenyapnya dan lepasnya keinginan dan nafsu pada kesadaran: ini adalah jalan membebaskan dari kesadaran.”

Dengan mengatakan, “Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah ia melihat, sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”

“Bentuk apa pun juga, bhikkhu, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, bhikkhu, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya.” 

Pada saat itu suatu pemikiran muncul dalam pikiran seorang bhikkhu: “Jadi tampaknya bentuk adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Diri apakah, kalau begitu, yang berdampak atas perbuatan yang dilakukan oleh apa yang bukan-diri?”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya sendiri mengetahui pemikiran dalam pikiran bhikkhu itu, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, bahwa seorang yang dungu di sini, tumpul dan bodoh, dengan pikirannya ternodai oleh ketagihan, berpikir bahwa ia dapat menelanjangi ajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi tampaknya bentuk adalah bukan-diri …. kesadaran adalah bukan-diri. Diri apakah, kalau begitu, yang berdampak atas perbuatan yang dilakukan oleh apa yang bukan-diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah Kulatih melalui tanya-jawab di sana-sini sehubungan dengan berbagai ajaran.

“Bagaimana menurutmu, bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” …—“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal?” … “Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal?” … “Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal?” … “Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal merupakan penderitaan atau kebahagiaan?”—“Penderitaan, Yang Mulia.”—“Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu … Dengan melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

Ini adalah sepuluh pertanyaan
Yang ditanyakan oleh bhikkhu itu:
Dua mengenai kelompok-kelompok unsur kehidupan,
Apakah sama, mungkinkah ada,
Sebutan dan sebab,
Dua mengenai identitas,
[Satu untuk masing-masing mengenai] kepuasan
Dan [jasmani ini] dengan kesadaran. 




Thera Vagga


SN 22.83 :  Ānanda Sutta [Ānanda]

Di Sāvatthī. Di sana Yang Mulia Ānanda menyapa para bhikkhu sebagai berikut: “Sahabat-sahabat, para bhikkhu!”

“Sahabat!” para bhikkhu itu menjawab, Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Sahabat-sahabat, Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta telah sangat membantu kita ketika kita masih baru ditahbiskan. Ia menasihati kita dengan nasihat berikut ini:

“Adalah melalui kemelekatan, Ānanda, maka [gagasan] ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan. Dan dengan melekat pada apakah ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan? Yaitu dengan melekat pada bentuk maka ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan. Adalah dengan melekat pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran maka ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan.

“Misalkan, sahabat Ānanda, seorang perempuan muda—atau seorang laki-laki muda—berpenampilan muda dan menyukai perhiasan, mengamati bayangan wajahnya pada sebuah cermin atau mangkuk berisi air yang murni, jernih, dan bersih: ia akan melihatnya dengan kemelekatan, bukan tanpa kemelekatan. Demikian pula, adalah dengan melekat pada bentuk maka ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan. Adalah dengan melekat pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran maka ‘aku’ muncul, bukan tanpa kemelekatan.

“Bagaimana menurutmu, sahabat Ānanda, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?” … seperti sutta sebelumnya … “Melihat demikian … ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

“Sahabat-sahabat, Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta telah sangat membantu kita ketika kita masih baru ditahbiskan. Ia menasihati kita dengan nasihat tersebut. Dan ketika aku mendengarkan ajaran Dhamma ini, aku menembus Dhamma.” 



SN 22.84 : Tissa Sutta [Tissa]

Di Sāvatthī. Pada saat itu Yang Mulia Tissa, sepupu Sang Bhagavā dari pihak ayah, memberitahukan kepada sejumlah bhikkhu: “Teman-teman, tubuhku sepertinya keracunan, aku menjadi disorientasi, ajaran menjadi tidak jelas bagiku. Kelambanan dan ketumpulan terus-menerus menguasai pikiranku. Aku menjalani kehidupan suci dengan tidak puas, dan aku memiliki keraguan sehubungan dengan ajaran.”

Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan hal tersebut kepada Beliau. Sang Bhagavā kemudian memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, bhikkhu, beritahu Bhikkhu Tissa atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Tissa dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, sahabat Tissa.”

“Baik, sahabat,” Yang Mulia Tissa menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, Tissa, bahwa engkau memberitahu sejumlah bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman, tubuhku sepertinya keracunan … dan aku memiliki keraguan sehubungan dengan ajaran’?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Tissa, jika seseorang tidak hampa dari nafsu pada bentuk, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, kemudian dengan berubahnya bentuk itu, apakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirinya?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus, Tissa! Demikianlah Tissa, pada seseorang yang tidak hampa dari nafsu pada bentuk. Jika seseorang tidak hampa dari nafsu pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran, tidak hampa dari keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, kemudian dengan berubahnya kesadaran itu, apakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirinya?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus, Tissa! Demikianlah Tissa, pada seseorang yang tidak hampa dari nafsu pada kesadaran. Jika seseorang hampa dari nafsu pada bentuk, hampa dari keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, kemudian dengan berubahnya bentuk itu, apakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirinya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus, Tissa! Demikianlah Tissa, pada seseorang yang hampa dari nafsu pada bentuk. Jika seseorang hampa dari nafsu pada perasaan … pada persepsi … pada bentukan-bentukan kehendak … pada kesadaran, hampa dari keinginan, kasih sayang, dahaga, kegemaran, dan ketagihan padanya, kemudian dengan berubahnya kesadaran itu, apakah dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirinya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus, Tissa! Demikianlah Tissa, pada seseorang yang hampa dari nafsu pada kesadaran. Bagaimana menurutmu, Tissa, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” …—“Oleh karena itu … Dengan melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Misalkan, Tissa, ada dua orang: yang seorang tidak tahu jalan, yang lainnya tahu jalan. Orang yang tidak tahu jalan akan bertanya kepada orang yang tahu jalan itu, yang tahu akan berkata: ‘Pergilah, teman, ini adalah jalan. Berjalanlah sedikit dan engkau akan menemui persimpangan di jalan. Hindari jalan ke kiri dan ambillah jalan ke kanan. Berjalan lebih jauh dan engkau akan menemui hutan belantara. Berjalan lebih jauh lagi dan engkau akan menemui rawa luas. Berjalan lebih jauh lagi dan engkau akan menemui ngarai yang terjal. Berjalan lebih jauh lagi dan engkau akan menemui lapangan indah dan luas di atas tanah datar.’

“Aku membuat perumpamaan ini, Tissa, untuk menyampaikan suatu makna. Inilah maknanya: “Orang yang tidak tahu jalan’: ini adalah sebutan untuk kaum duniawi. ‘Orang yang tahu jalan’: ini adalah sebutan untuk Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. ‘Persimpangan jalan’: ini adalah sebutan untuk keragu-raguan. ‘Jalan ke kiri’: ini adalah sebutan untuk jalan berunsur delapan yang salah; yaitu, pandangan salah … konsentrasi salah. ‘Jalan ke kanan’: ini adalah sebutan untuk Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu pandangan benar … konsentrasi benar. ‘Hutan belantara’: ini adalah sebutan untuk ketidaktahuan. ‘Rawa luas’: ini adalah sebutan untuk kenikmatan indria. ‘Ngarai terjal’: ini adalah sebutan untuk keputus-asaan karena kemarahan. ‘Lapangan indah dan luas’: ini adalah sebutan untuk Nibbāna.

“Bergembiralah, Tissa! Bergembiralah, Tissa! Aku di sini untuk menasihati, Aku di sini untuk membantu, Aku di sini untuk mengajarkan!”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Tissa senang dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā. 



SN 22.85 :  Yamaka Sutta [Yamaka]

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu pandangan sesat berikut ini muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Yamaka: “Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”

Sejumlah bhikkhu mendengar bahwa pandangan sesat demikian telah muncul dalam diri Bhikkhu Yamaka. Kemudian mereka mendatangi Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, Sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”

“Benar, sahabat-sahabat. Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”

“Sahabat Yamaka, jangan berkata seperti itu. Jangan keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Tidaklah baik secara keliru menafsirkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan bahwa: ‘Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.’”

Namun, walaupun ia dinasihati oleh para bhikkhu seperti itu, Yang Mulia Yamaka masih keras kepala menganut pandangan sesat itu, melekat pada pandangan itu, dan menyatakan: “Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian.”

Karena para bhikkhu itu tidak mampu melepaskan Yang Mulia Yamaka dari pandangan sesat itu, mereka bangkit dari duduknya, mendekati Yang Mulia Sāriputta, dan memberitahukan semua yang terjadi, dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Sāriputta mendatangi Bhikkhu Yamaka demi belas kasih kepadanya.” Yang Mulia Sāriputta menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningannya, ia mendekati Yang Mulia Yamaka dan saling bertukar sapa dengannya, setelah itu ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Benarkah, sahabat Yamaka, bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”
“Benar, sahabat.”

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, sahabat.”—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.”

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam bentuk?”—“Tidak, sahabat.”—“Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata terpisah dari bentuk?”—“Tidak, sahabat.” “Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam perasaan? Terpisah dari perasaan? Sebagai di dalam persepsi? Terpisah dari persepsi? Sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak? Terpisah dari bentukan-bentukan kehendak? Sebagai di dalam kesadaran? Terpisah dari kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran [secara keseluruhan] sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, sahabat.” 

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai seorang yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan-bentukan kehendak, tanpa kesadaran?”—“Tidak, sahabat.”

“Tetapi, sahabat, jika Sang Tathāgata tidak engkau pahami sebagai nyata dan sebenar-benarnya di sini dalam kehidupan ini, pantaskah engkau menyatakan: ‘Seperti yang kupahami sehubungan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan akan musnah dan lenyap dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian’?”

“Sebelumnya, sahabat Sāriputta, ketika aku masih bodoh, aku memang menganut pandangan sesat, tetapi sekarang setelah aku mendengarkan Ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta aku telah melepaskan pandangan sesat itu dan telah menembus Dhamma.”

“Jika, sahabat Yamaka, mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Yamaka, ketika seorang bhikkhu telah menjadi seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, apakah yang terjadi padanya saat hancurnya jasmani, setelah kematian?’—ditanya demikian, apakah jawabanmu?”

“Jika mereka bertanya kepadaku seperti itu, sahabat, aku akan menjawab: ‘Sahabat, bentuk adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu. Perasaan … Persepsi … Bentukan-bentukan kehendak … Kesadaran adalah tidak kekal; apa yang tidak kekal adalah penderitaan; apa yang merupakan penderitaan telah lenyap dan berlalu.’

 Ditanya demikian, sahabat, aku akan menjawab seperti itu.”

“Bagus, bagus, sahabat Yamaka! Sekarang, sahabat Yamaka, aku akan memberikan perumpamaan kepadamu untuk menyampaikan makna yang sama dengan lebih jelas lagi. Misalkan, sahabat Yamaka, ada seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Kemudian seseorang ingin menghancurkannya, mencelakainya, membahayakannya, membunuhnya. Orang itu akan berpikir: ‘Perumah tangga atau putra perumah tangga ini adalah seorang kaya, dengan harta kekayaan berlimpah, dijaga oleh seorang pengawal. Tidaklah mudah untuk membunuhnya. Biarlah aku mendekatinya dan kemudian membunuhnya.’

“Kemudian ia akan mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan.’ Kemudian perumah tangga atau putra perumah tangga itu mengangkatnya menjadi pelayannya. Orang itu akan melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan. Perumah tangga atau putra perumah tangga itu menganggapnya sebagai seorang teman, teman akrab, dan ia mempercayainya. Tetapi ketika orang itu menyadari bahwa perumah tangga atau putra perumah tangga itu telah mempercayainya, kemudian, ketika ia sendirian, ia membunuhnya dengan pisau tajam.

“Bagaimana menurutmu, sahabat Yamaka, ketika orang itu mendatangi perumah tangga atau putra perumah tangga itu dan berkata kepadanya: ‘Aku akan bekerja untukmu, tuan,’ bukankah ia adalah seorang pembunuh bahkan walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu melayaninya, bangun tidur sebelum orang itu, pergi tidur setelah orang itu, melakukan apa pun yang ia inginkan, perbuatannya menyenangkan, kata-katanya menyenangkan, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’? Dan ketika orang itu mendatanginya ketika ia sedang sendirian dan membunuhnya dengan pisau tajam, bukankah ia adalah seorang pembunuh, walaupun yang lain tidak mengenalinya sebagai ‘pembunuhku’?”

“Benar, sahabat.”

“Demikian pula, sahabat Yamaka, kaum duniawi yang tidak terpelajar, yang bukan salah satu di antara para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang bukan salah satu di antara orang-orang superior dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.

“Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran.

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … perasaan yang tidak kekal sebagai ‘perasaan yang tidak kekal’ … persepsi yang tidak kekal sebagai ‘persepsi yang tidak kekal’ … bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … perasaan yang menyakitkan sebagai ‘perasaan yang menyakitkan’ … persepsi yang menyakitkan sebagai ‘persepsi yang menyakitkan’ … bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’
… perasaan yang tanpa-diri sebagai ‘perasaan yang tanpa-diri’ … persepsi yang tanpa-diri sebagai ‘persepsi yang tanpa-diri’ … bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… perasaan yang terkondisi sebagai ‘perasaan yang terkondisi’ … persepsi yang terkondisi sebagai ‘persepsi yang terkondisi’ … bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang terkondisi’ … kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’

“Ia tidak memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … perasaan yang bersifat membunuh sebagai ‘perasaan yang bersifat membunuh’ … persepsi yang bersifat membunuh sebagai ‘persepsi yang bersifat membunuh’ … bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh sebagai ‘bentukan-bentukan kehendak yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’

“Ia menjadi terlibat dengan bentuk, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, melekat padanya, dan menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia menjadi terlibat dan yang padanya ia melekat, membawanya menuju bahaya dan penderitaan dalam waktu yang lama.

“Tetapi, sahabat, siswa mulia yang terpelajar, yang merupakan salah satu dari para mulia … tidak menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk.

“Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. 

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tidak kekal sebagai ‘bentuk yang tidak kekal’ … kesadaran yang tidak kekal sebagai ‘kesadaran yang tidak kekal.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang menyakitkan sebagai ‘bentuk yang menyakitkan’ … kesadaran yang menyakitkan sebagai ‘kesadaran yang menyakitkan.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang tanpa-diri sebagai ‘bentuk yang tanpa-diri’ … kesadaran yang tanpa-diri sebagai ‘kesadaran yang tanpa-diri.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang terkondisi sebagai ‘bentuk yang terkondisi’
… kesadaran yang terkondisi sebagai ‘kesadaran yang terkondisi.’

“Ia memahami sebagaimana adanya bentuk yang bersifat membunuh sebagai ‘bentuk yang bersifat membunuh’ … kesadaran yang bersifat membunuh sebagai ‘kesadaran yang bersifat membunuh.’

“Ia tidak menjadi terlibat dengan bentuk, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Ia tidak menjadi terlibat dengan perasaan … dengan persepsi … dengan bentukan-bentukan kehendak … dengan kesadaran, tidak melekat padanya, dan tidak menganggapnya sebagai ‘diriku’. Lima kelompok unsur kemelekatan yang sama ini, yang padanya ia tidak menjadi terlibat dan yang padanya ia tidak melekat, membawanya menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama.”

“Demikianlah, sahabat Sāriputta, bagi para mulia yang memiliki belas kasih dan merupakan saudara yang penuh cinta kasih dalam kehidupan suci ini untuk mengingatkan dan mengajarkan mereka. Dan sekarang aku telah mendengarkan ajaran Dhamma ini dari Yang Mulia Sāriputta, batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.” 
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Yamaka senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. 


SN 22.86 :  Anurādha Sutta [Anurādha]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Pada saat itu Yang Mulia Anurādha sedang berdiam di sebuah gubuk di hutan tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian sejumlah pengembara dari sekte lain mendatangi Yang Mulia Anurādha dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Sahabat Anurādha, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata—jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi—Beliau menggambarkanNya sehubungan dengan empat kasus berikut ini: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.’”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Anurādha berkata kepada para pengembara itu: ‘Sahabat-sahabat, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata—jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi—Beliau menggambarkanNya terlepas dari empat kasus berikut ini: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.’”

Ketika hal ini dikatakan, para pengembara itu berkata kepada Yang Mulia Anurādha: ‘Bhikkhu ini pasti baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, atau , jika ia adalah seorang bhikkhu senior, ia pasti seorang dungu yang tidak kompeten.”

Kemudian para pengembara dari sekte lain itu, setelah merendahkan Yang Mulia Anurādha dengan sebutan “baru ditahbiskan” dan “dungu” bangkit dari duduknya dan pergi. 

Kemudian, tidak lama setelah para pengembara itu pergi, Yang Mulia Anurādha berpikir: “Jika para pengembara dari sekte lain itu bertanya lebih jauh, bagaimanakah aku harus menjawab jika aku harus menyatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah memahaminya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Dan bagaimanakah aku harus menjelaskan sesuai dengan Dhamma, sehingga tidak ada konsekuensi logis dari pernyataanku yang dapat menjadi landasan bagi kritikan?”

Kemudian Yang Mulia Anurādha mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan melaporkan segalanya yang terjadi kepada Sang Bhagavā, dan menanyakan: “Jika para pengembara dari sekte lain itu bertanya lebih jauh, bagaimanakah aku harus menjawab … sehingga tidak ada konsekuensi logis dari pernyataanku yang dapat menjadi landasan bagi kritikan?”

“Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” …—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap bentuk sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Apakah engkau menganggap perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam bentuk?”—“Tidak, Yang Mulia.”—“Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai terlepas dari bentuk?—“Tidak, Yang Mulia.”—“Apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai di dalam perasaan? Terlepas dari perasaan? Sebagai di dalam persepsi? Terlepas dari persepsi? Sebagai di dalam bentukan-bentukan kehendak? Terlepas dari bentukan-bentukan kehendak? Sebagai di dalam kesadaran? Terlepas dari kesadaran?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, kesadaran [secara keseluruhan] sebagai Sang Tathāgata?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Anurādha, apakah engkau menganggap Sang Tathāgata sebagai seorang yang tanpa bentuk, tanpa perasaan, tanpa persepsi, tanpa bentukan-bentukan kehendak, tanpa kesadaran?”—“Tidak, Yang Mulia.”

“Tetapi, Anurādha, jika Sang Tathāgata tidak engkau pahami sebagai nyata dan sebenar-benarnya di sini dalam kehidupan ini, pantaskah engkau menyatakan: ‘Sahabat-sahabat, ketika seorang Tathāgata menggambarkan seorang Tathāgata—jenis individu tertinggi, manusia tertinggi, pencapai pencapaian tertinggi—Beliau menggambarkanNya terlepas dari empat kasus berikut ini: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ atau … ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.’?”
“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus, Anurādha! Sebelumnya, Anurādha, dan juga saat ini, Aku hanya mengajarkan penderitaan dan lenyapnya penderitaan.” 


SN 22.87 :  Vakkali Sutta [Vakkali]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Vakkali sedang berdiam di gubuk pengrajin tembikar, sakit, menderita, sakit parah. Kemudian Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya:

“Pergilah, sahabat-sahabat, datangilah Sang Bhagavā, berilah hormat atas namaku dengan kepala kalian di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali sedang sakit, menderita, sakit parah; ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan kepalanya di kaki Beliau.’ Kemudian katakan: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengunjungi Bhikkhu Vakkali demi belas kasihan.’”

“Baik, sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesan itu. Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahNya, mengunjungi Yang Mulia Vakkali. Dari jauh Yang Mulia Vakkali melihat Sang Bhagavā datang dan bangun dari tempat tidurnya. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Cukup, Vakkali, jangan bangun dari tempat tidur. Ada tempat duduk di sini, Aku akan duduk di sini.”

Kemudian Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Vakkali: “Aku harap engkau bertahan, Vakkali, Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan bukan meningkat, dan bahwa meredanya, bukan meningkatnya, terlihat.”

“Yang Mulia, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan sakit yang kuat meningkat, bukan mereda, dan meningkatnya, bukan meredanya, terlihat.”

“Aku harap, Vakkali, engkau tidak terganggu oleh penyesalan.”

“Sebenarnya, Yang Mulia, aku memiliki banyak penyesalan.”

“Aku harap, Vakkali, engkau tidak memiliki alasan untuk mencela dirimu sehubungan dengan moralitas.”

“Aku tidak memiliki alasan apa pun, Yang Mulia, untuk mencela diriku sehubungan dengan moralitas.”

“Kalau begitu, Vakkali, jika engkau tidak memiliki alasan apa pun untuk mencela dirimu sehubungan dengan moralitas, mengapa engkau terganggu oleh penyesalan?”

“Sejak lama, Yang Mulia, aku berkeinginan untuk mengunjungi Sang Bhagavā, namun aku tidak cukup sehat untuk melakukannya.”

“Cukup, Vakkali! Mengapa engkau ingin mengunjungi tubuh menjijikkan ini? Seseorang yang melihat Dhamma, melihat Aku; seseorang yang melihat Aku, melihat Dhamma. Karena dalam melihat Dhamma, Vakkali, maka ia melihat Aku; dan dalam melihat Aku, maka ia melihat Dhamma.
“Bagaimana menurutmu, Vakkali, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” …—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memberikan nasihat kepada Yang Mulia Vakkali, bangkit dari dudukNya dan pergi menuju Gunung Puncak Hering.
Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya: “Marilah, sahabat-sahabat, angkat aku dari tempat tidur ini dan bawa aku ke Batu Hitam di Lereng Isigili. Bagaimana mungkin orang sepertiku berpikir untuk mati di tengah-tengah perumahan?”

“Baik, sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, setelah mengangkat Yang Mulia Vakkali dari tempat tidur, mereka membawanya ke Batu Hitam di Lereng Isigili.

Sang Bhagavā melewatkan hari dan malan itu di Gunung Puncak Hering. Kemudian, pada larut malam, dua devatā dengan keindahan memesona mendatangi Sang Bhagavā, menerangi seluruh Gunung Puncak Hering … Sambil berdiri di satu sisi, salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai pembebasan.” Devatā lainnya berkata: “Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh kedua devatā itu. Setelah mengatakan hal itu, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanan mereka, mereka lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, para bhikkhu, datangilah Bhikkhu Vakkali dan katakan padanya: ‘Sahabat Vakkali, dengarkanlah kata-kata Sang Bhagavā dan dua devatā. Kemarin malam, sahabat, pada larut malam, dua devatā dengan keindahan memesona mendatangi Sang Bhagavā. Salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai pembebasan.” Devatā lainnya berkata: “Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.” Dan Sang Bhagavā berkata kepadamu, Sahabat Vakkali: “Jangan takut, Vakkali, jangan takut! Kematianmu bukanlah kematian yang buruk. Kematianmu bukanlah kematian yang buruk.”’”
“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka mendatangi Yang Mulia Vakkali dan berkata kepadanya: “Sahabat Vakkali, dengarkanlah kata-kata Sang Bhagavā dan dua devatā.”
Kemudian Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya: “Sahabat-sahabat, turunkan aku dari tempat tidur. Bagaimana mungkin seorang sepertiku berpikir untuk mendengarkan ajaran Sang Bhagavā sambil duduk di tempat yang tinggi.”

“Baik, sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka menurunkan Yang Mulia Vakkali dari tempat tidur.

“Kemarin malam, sahabat, dua devatā dengan keindahan memesona mendekati Sang Bhagavā. Salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai pembebasan.’ Devatā lainnya berkata: ‘Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.’ Dan Sang Bhagavā berkata kepadamu, sahabat Vakkali: ‘Jangan takut, Vakkali, jangan takut! Kematianmu bukanlah kematian yang buruk. Kematianmu bukanlah kematian yang buruk.’”

“Baiklah, sahabat-sahabat, berilah hormat kepada Sang Bhagavā atas namaku dengan kepala kalian di kaki Beliau dan katakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali sedang sakit, menderita, sakit parah; ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dengan kepalanya di kaki Beliau.’ Kemudian katakan: ‘Bentuk adalah tidak kekal: aku tidak meragukan hal ini, Yang Mulia, aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, aku tidak lagi memiliki keinginan, nafsu, atau kerinduan. Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal: aku tidak meragukan hal ini, Yang Mulia, aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, aku tidak lagi memiliki keinginan, nafsu, atau kerinduan.’”
“Baik, sahabat,” para bhikkhu itu menjawab dan kemudian mereka pergi. Kemudian, tidak lama setelah para bhikkhu itu pergi, Yang Mulia Vakkali menggunakan pisau.

Kemudian para bhikkhu itu mendatangi Sang Bhagavā … dan menyampaikan pesan itu. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Mari, para bhikkhu, kita pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili, di mana Vakkali telah menggunakan pisaunya.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili. Dari jauh Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Vakkali berbaring di tempat tidur dengan bahunya terbalik. 

Pada saat itu gumpalan asap, pusaran kegelapan, bergerak ke timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke seluruh penjuru di antaranya. Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian melihat, para bhikkhu, gumpalan asap, pusaran kegelapan, bergerak ke timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke seluruh penjuru di antaranya?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Itu, para bhikkhu, adalah Māra si Jahat yang sedang mencari kesadaran Vakkali, bertanya-tanya: ‘Di manakah sekarang kesadaran Vakkali terbentuk?’ Akan tetapi, para bhikkhu, dengan kesadaran tidak terbentuk, Vakkali telah mencapai Nibbāna akhir.” 



SN 22.88 :  Assaji Sutta [Assaji]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Assaji sedang berdiam di Taman Kassapaka, sedang sakit, menderita, sakit parah.

Seperti pada Sutta sebelumnya, hingga: 

“Kalau begitu jika engkau tidak memiliki alasan apa pun untuk mencela dirimu sehubungan dengan moralitas, Assaji, mengapa engkau terganggu oleh penyesalan?”

“Sebelumnya, Yang Mulia, ketika aku sakit, aku senantiasa menenangkan bentukan-bentukan jasmani, tetapi [sekarang] aku tidak memperoleh konsentrasi. Karena aku tidak memperoleh konsentrasi, aku berpikir: ‘Semoga aku tidak jatuh!’”

“Para petapa dan brahmana, Assaji, yang menganggap konsentrasi sebagai inti dan mengidentifikasikan konsentrasi dengan pertapaan, gagal memperoleh konsentrasi, akan berpikir, ‘Semoga kita tidak jatuh!’

“Bagaimana menurutmu, Assaji, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” … —“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘ … tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’

“Jika ia merasakan perasaan yang menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak disenangi.’ Jika ia merasakan perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak disenangi.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak disenangi.

“Jika ia merasakan perasaan yang menyenangkan, ia merasakannya dengan terlepas; jika ia merasakan perasaan yang menyakitkan, ia merasakannya dengan terlepas; jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya dengan terlepas.

“Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada jasmani.’ Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada kehidupan.’ Ia memahami ‘Dengan hancurnya jasmani, yang mengikuti habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

“Bagaikan, Assaji, sebuah pelita yang menyala dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan dengan habisnya minyak dan sumbu maka pelita itu padam karena kekurangan bahan bakar, demikian pula, Assaji, ketika seorang bhikkhu merasakan perasaan yang berujung pada jasmani … berujung pada kehidupan … Ia memahami ‘Dengan hancurnya jasmani, yang mengikuti habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’” 


SN 22.89 ; Khemaka Sutta [Khemaka]

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu senior sedang berdiam di Kosambī, di Taman Ghosita. Pada saat itu Yang Mulia Khemaka sedang menetap di Taman Pohon Jujube, sedang sakit, menderita, sakit parah. 

Kemudian, pada malam harinya, para bhikkhu senior itu keluar dari keheningan dan berkata kepada Yang Mulia Dāsaka sebagai berikut: “Pergilah, sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, sahabat Khemaka: Kami harap engkau bertahan, sahabat, kami harap engkau menjadi lebih baik. Kami harap perasaan sakitmu mereda dan bukan meningkat, dan bahwa meredanya, bukan meningkatnya, terlihat.’”

“Baik, sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

Yang Mulia Khemaka menjawab:

“Aku tidak dapat bertahan, sahabat, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan sakit yang kuat meningkat, bukan mereda, dan meningkatnya, bukan meredanya, terlihat.”

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka memberitahunya: “Pergilah, sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, sahabat Khemaka: Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, sahabat, yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak yang tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Apakah Yang Mulia Khemaka menganggap sesuatu sebagai diri atau sebagai milik diri di antara lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini?’”

“Baik, sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

Yang Mulia Khemaka menjawab:

“Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan … kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Di antara lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, aku tidak menganggap satu pun sebagai diri atau sebagai milik diri.”

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka menjawab: “Pergilah, sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, sahabat Khemaka: Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, sahabat, yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan … kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Jika Yang Mulia Khemaka tidak menganggap apa pun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini sebagai diri atau sebagai milik diri, maka ia adalah seorang Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan.’”

“Baik, sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

Yang Mulia Khemaka menjawab:

“Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk yang tunduk pada kemelekatan … kelompok unsur kesadaran yang tunduk pada kemelekatan. Aku tidak menganggap apa pun dari kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini sebagai diri atau sebagai milik diri, namun aku bukan seorang Arahant, bukan seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Sahabat-sahabat, [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [apa pun diantaranya] sebagai ‘ Ini aku.’” 

Kemudian Yang Mulia Dāsaka mendatangi para bhikkhu senior dan melaporkan apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Mereka menjawab: “Pergilah, sahabat Dāsaka, datangilah Bhikkhu Khemaka dan katakan padanya: ‘Para bhikkhu senior mengatakan kepadamu, sahabat Khemaka: Sahabat Khemaka, ketika engkau mengatakan “aku” ini—apakah yang engkau maksudkan sebagai “aku”? Apakah engkau mengatakan bentuk sebagai “aku,” atau apakah engkau mengatakan “aku” terlepas dari bentuk? Apakah engkau mengatakan perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran sebagai “aku” atau apakah engkau mengatakan “aku” terlepas dari kesadaran? Ketika engkau mengatakan “aku” ini—apakah yang engkau maksudkan sebagai “aku”?’”

“Baik, sahabat-sahabat,” Yang Mulia Dāsaka menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Khemaka dan menyampaikan pesan itu.

“Cukup, sahabat Dāsaka! Mengapa terus berlari mondar-mandir? Ambilkan tongkatku, sahabat. Aku akan pergi sendiri menemui para senior.”

Kemudian Yang Mulia Khemaka, dengan bantuan tongkatnya, mendatangi para bhikkhu senior, saling bertukar sapa dengan mereka, dan duduk di satu sisi. Kemudian para bhikkhu senior itu berkata kepadanya: “Sahabat Khemaka, ketika engkau mengatakan ‘aku’ ini …apakah yang engkau maksudkan sebagai ‘aku’?”

“Sahabat-sahabat, aku tidak membicarakan tentang bentuk sebagai ‘aku’, juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari bentuk. Aku tidak membicarakan tentang perasaan sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang persepsi sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang bentukan-bentukan kehendak sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang kesadaran sebagai ‘aku’, juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari kesadaran. Sahabat-sahabat, walaupun [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [apa pun diantaranya] sebagai ‘Ini aku.’

“Misalkan, sahabat-sahabat, ada aroma dari bunga teratai biru, merah, atau putih. Apakah seseorang mengatakan dengan benar jika ia mengatakan, ‘Aroma itu berasal dari kuntum,’ atau ‘Aroma itu berasal dari tangkai,’ atau ‘Aroma itu berasal dari putik’?”

“Tidak, sahabat.”

“Dan bagaimanakah, sahabat-sahabat, seseorang harus menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, sahabat, ia harus menjawab: ‘Aroma itu berasal dari bunga.’”

“Demikian pula, sahabat-sahabat, aku tidak membicarakan tentang bentuk sebagai ‘aku’, juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari bentuk. Aku tidak membicarakan tentang perasaan sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang persepsi sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang bentukan-bentukan kehendak sebagai ‘aku’ … juga tidak membicarakan tentang kesadaran sebagai ‘aku’, juga tidak membicarakan tentang ‘aku’ terlepas dari kesadaran. Sahabat-sahabat, walaupun [gagasan] ‘aku’ belum lenyap dalam diriku sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini, tetapi aku tidak menganggap [satu pun di antaranya] sebagai ‘Ini aku.’
“Sahabat-sahabat, meskipun seorang siswa mulia telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, namun, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, masih tertinggal dalam dirinya sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut. Beberapa lama kemudian ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan: ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah bentukan-bentukan kehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.’ Sewaktu ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, maka sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut—menjadi tercabut.

“Misalkan, sahabat-sahabat, sehelai kain yang kotor dan ternoda, dan pemiliknya menyerahkannya kepada seorang tukang cuci. Tukang cuci itu menggosoknya dengan menyeluruh dengan garam, cairan, atau kotoran sapi pembersih, dan membilasnya dengan air. Walaupun kain itu menjadi bersih, namun masih tertinggal sisa-sisa aroma garam, cairan, atau kotoran sapi pembersih yang belum lenyap. Tukang cuci itu kemudian mengembalikan kain itu kepada pemiliknya. Sang pemilik akan menyimpannya di dalam peti beraroma harum, dan sisa-sisa aroma garam, cairan, atau kotoran sapi pembersih yang belum lenyap akan menjadi lenyap.

“Demikian pula, sahabat-sahabat, meskipun seorang siswa mulia telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, namun, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, masih tertinggal dalam dirinya sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut … Sewaktu ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, sisa-sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’ yang masih belum tercabut—menjadi tercabut.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu senior berkata kepada Yang Mulia Khemaka: “Kami tidak mengajukan pertanyaan untuk mengganggu Yang Mulia Khemaka, tetapi kami pikir bahwa Yang Mulia Khemaka mampu menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan ajaran Sang Bhagavā secara terperinci. Dan Yang Mulia Khemaka telah menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan ajaran Sang Bhagavā secara terperinci.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Khemaka. Para bhikkhu senior itu senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Khemaka. Dan sewaktu khotbah ini dibabarkan, batin keenam puluh bhikkhu senior dan batin Yang Mulia Khemaka terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. 


SN 22.90 :  Channa Sutta [Channa]

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Channa keluar dari keheningan dan, membawa kuncinya, mendatangi dari tempat tinggal demi tempat tinggal dan berkata kepada para bhikkhu senior: “Sudilah Yang Mulia menasihatiku, sudilah memberikan instruksi kepadaku, sudilah membabarkan khotbah Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat melihat Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu senior berkata kepada Yang Mulia Channa: “Bentuk, sahabat Channa, adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Bentuk adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan kehendak adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Semua bentukan adalah tidak kekal; semua fenomena adalah bukan-diri.”

Kemudian Yang Mulia Channa berpikir: “Aku juga berpikir demikian: ‘Bentuk adalah tidak kekal … kesadaran adalah tidak kekal. Bentuk adalah bukan-diri … kesadaran adalah bukan-diri. Semua bentukan adalah tidak kekal; semua fenomena adalah bukan-diri.’ Tetapi batinku masih tidak meluncur menuju penenangan semua bentukan, pelepasan segala perolehan, penghancuran ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna; juga tidak memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan. Sebaliknya, gejolak dan kemelekatan muncul dan pikiran berbalik, dengan berpikir: ‘Tetapi siapakah diriku?’ Tetapi yang seperti itu tidak terjadi pada seorang yang melihat Dhamma. Karena itu siapakah yang dapat mengajariku Dhamma sedemikian sehingga aku dapat melihat Dhamma?”

Kemudian Yang Mulia Channa berpikir: “Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita, dan ia dipuji oleh Sang Guru dan dihormati oleh saudara-saudara bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Ānanda mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat melihat Dhamma. Karena aku sangat memercayai Yang Mulia Ānanda, biarlah aku menemuinya.”
Kemudian Yang Mulia Channa merapikan tempat tinggalnya, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke Taman Ghosita di Kosambī, di mana ia mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Yang Mulia Ānanda segalanya yang terjadi, menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Ānanda menasihatiku, sudilah ia memberikan instruksi kepadaku, sudilah ia membabarkan khotbah Dhamma sedemikian sehingga aku dapat melihat Dhamma.”

“Bahkan hanya dengan begini, aku gembira dengan Yang Mulia Channa. Mungkin Yang Mulia Channa telah membuka pikirannya dan memecahkan kekeras-kepalaannya. Dengarkanlah dengan seksama, sahabat Channa, engkau mampu memahami Dhamma.”

Kemudian seketika kegembiraan dan kegirangan luar biasa muncul dalam diri Yang Mulia Channa ketika ia berpikir: “Sepertinya aku mampu memahami Dhamma.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata:

“Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengarkan ini, sahabat Channa, di hadapan Beliau aku mendengarkan nasihat yang Beliau sampaikan kepada Bhikkhu Kaccānagotta:

“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar bergantung pada dualitas … keseluruhan Sutta 12:15 diulangi di sini … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

“Demikianlah, sahabat Ānanda, bagi para mulia yang memiliki belas kasih dan merupakan saudara yang penuh cinta kasih dalam kehidupan suci ini untuk mengingatkan dan mengajarkan mereka. Dan sekarang aku telah mendengarkan Ajaran Dhamma dari Yang Mulia Ānanda, aku telah menembus Dhamma.” 



SN 22.91 :  Rāhula 1 Sutta [ Rāhula (1)]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Rāhula mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya?”

“Bentuk apa pun juga, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apa pun juga… Persepsi apa pun juga … Bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—seseorang melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam dirinya.” 


SN 22.92 :  Rāhula 2 Sutta [Rāhula (2)]

Di Sāvatthī. Yang Mulia Rāhula … berkata kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan sempurna?”

“Bentuk apa pun juga, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang … jauh atau dekat—seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.

“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga … Bentukan kehendak apa pun juga… Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat—setelah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka batin terbebas dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan sempurna.” 




SN 22.93. Nadi Sutta [Sungai]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah sungai mengalir turun, mengalir jauh dengan arus yang deras. Di kedua tepi sungai rumput kāsa atau rumput kusa tumbuh, rumput-rumput itu tumbuh bergelantungan di atas air; jika tanaman bunga, buluh, atau pohon tumbuh, maka tanaman itu akan tumbuh bergelantungan di atas air. Jika seseorang hanyut terbawa arus menangkap rumput kāsa, maka rumput itu akan putus dan ia akan menemui malapetaka dan bencana; jika ia menangkap rumput kusa, maka rumput itu akan putus dan ia akan menemui malapetaka dan bencana; jika ia menangkap tanaman bunga, buluh, atau pohon, maka tanaman itu akan patah dan ia akan menemui malapetaka dan bencana.

“Demikian pula, para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar … menganggap bentuk sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk, atau bentuk sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk. Bentuknya itu hancur dan karenanya ia menemui malapetaka dan bencana. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan kehendak sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Kesadarannya itu hancur dan karenanya ia menemui malapetaka dan bencana.

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”—“Tidak kekal, Yang Mulia.” …—“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”


Karma JIgme

Instagram