Pages

SN 20 : Opamma Saṃyutta [Kelompok Khotbah tentang Perumpamaan]

Saṃyutta Nikāya


Opamma Saṃyutta


Kelompok Khotbah tentang Perumpamaan


Di terjemahkan dari pāḷi ke inggris oleh Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi

Di terjemahkan dari inggris ke indonesia oleh Dhammacita

Nara Sumber pāḷi

[ SN 20.1 - SN 20.12 ]

SN 19 SN 20 SN 21


Opamma Vagga


SN 20.1 : Kūṭa Sutta [Puncak Atap]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika … Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bagaikan semua kasau dari atap rumah mengarah ke puncak atap dan menyatu di puncak atap, dan semuanya terbongkar ketika puncak atap itu dibongkar, demikian pula semua kondisi tidak bermanfaat adalah berakar pada ketidaktahuan dan menyatu di ketidaktahuan, dan semuanya terbongkar ketika ketidaktahuan dibongkar. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”




SN 20.2  : Nakhasikhā Sutta [Kuku Jari]

Di Sāvatthī. Sang Bhagavā mengambil sedikit tanah dengan ujung kuku jari tanganNya dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimanakah menurut kalian, mana yang lebih banyak: sedikit tanah yang Kuambil di ujung kuku jari tanganKu ini atau bumi ini?”

“Yang Mulia, bumi ini lebih banyak. Sedikit tanah yang Bhagavā ambil di ujung kuku jari tangan Beliau adalah tidak berarti. Dibandingkan dengan bumi ini, tidak dapat dihitung, tidak dapat dibandingkan, tidak ada bahkan sebagian kecilnya.”

“Demikian pula, para bhikkhu, makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah sedikit. Tetapi banyak sekali makhluk-makhluk yang terlahir kembali di alam selain alam manusia. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”




SN 20.3 : Kula Sutta [Keluarga-keluarga ]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seperti halnya mudah bagi para pencuri untuk menyerang keluarga-keluarga yang terdiri dari banyak perempuan dan sedikit laki-laki, demikian pula adalah mudah bagi makhluk bukan-manusia menyerang seorang bhikkhu yang tidak mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih.

“Seperti halnya sulit bagi para pencuri untuk menyerang keluarga-keluarga yang terdiri dari sedikit perempuan dan banyak laki-laki, demikian pula adalah sulit bagi makhluk bukan-manusia menyerang seorang bhikkhu yang mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, melatih diri kami di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” 



SN 20.4 :  Okkhāsata Sutta [Mangkuk-mangkuk Makanan]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jika seseorang memberikan seratus mangkuk makanan sebagai dana di pagi hari, seratus mangkuk makanan sebagai dana di siang hari, dan seratus mangkuk makanan sebagai dana di malam hari, dan jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk satu tarikan dalam menarik ambing susu sapi, apakah di pagi, siang, atau malam hari, ini adalah lebih bermanfaat daripada yang pertama.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” 




SN 20.5 : Satti Sutta [Tombak]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, misalnya terdapat sebatang tombak berujung tajam, dan seseorang datang dengan berpikir: ‘Aku akan membengkokkan tombak berujung tajam ini dengan tanganku, memelintirnya, dan memutar-mutarkannya.’ Bagaimanakah para bhikkhu, mungkinkah orang itu melakukannya?”

“Tidak, Yang Mulia.”—“Karena alasan apakah?”—“Karena tidaklah mudah untuk membengkokkan tombak berujung tajam ini dengan tangan, memelintirnya, dan memutar-mutarkannya. Orang itu hanya akan mengalami kelelahan dan kejengkelan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan, menjadikannya sebagai landasan, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya, jika makhluk bukan manusia berpikir bahwa ia dapat menjatuhkan pikirannya, maka makhluk bukan-manusia itu hanya akan mengalami kelelahan dan kejengkelan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”



SN 20.6  : Dhanuggaha Sutta [Pemanah]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, misalnya terdapat empat orang pemanah berbusur kuat, terlatih, tangkas, berpengalaman, berdiri di empat penjuru. Kemudian seseorang datang, berpikir: ‘Aku akan menangkap anak panah yang ditembakkan oleh empat pemanah ini dari empat penjuru sebelum jatuh ke tanah dan kemudian aku akan mengembalikannya.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah ini cukup untuk mengatakan: ‘Orang itu adalah seorang yang bergerak cepat yang memiliki kecepatan tinggi’?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia dapat menangkap anak panah yang ditembakkan oleh satu orang pemanah sebelum menyentuh tanah dan mengembalikannya, itu cukup untuk mengatakan: ‘Orang itu adalah seorang yang bergerak cepat yang memiliki kecepatan tinggi.’ Tidak perlu mengatakan mengenai anak panah-anak panah yang ditembakkan oleh empat pemanah!”

“Para bhikkhu, secepat apa pun orang itu, masih lebih cepat matahari dan bulan. Secepat apa pun orang itu, dan secepat apa pun matahari dan bulan, dan secepat apa pun para dewa yang berlari di depan matahari dan bulan, bentukan-bentukan kehidupan musnah bahkan lebih cepat dari itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”




SN 20.7 : Āṇi Sutta [Pasak Tambur]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau para penduduk Dasāraha memiliki sebuah tambur yang bernama Pemanggil. Ketika Pemanggil pecah, para penduduk Dasāraha menyisipkan pasak tambahan. Akhirnya tiba waktunya bagian atas tambur menjadi hilang dan hanya sejumlah pasak tersisa.

“Demikian pula, para bhikkhu, hal yang sama akan terjadi dengan para bhikkhu di masa depan. Ketika khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata, yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, sedang dibacakan, mereka tidak bersemangat mendengarnya, juga tidak menyimaknya, tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai. Tetapi ketika khotbah-khotbah itu yang sekedar syair yang digubah oleh para penyair, dengan kata-kata dan kalimat indah, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh siswa-siswa [mereka], sedang dibacakan, mereka akan bersemangat mendengarnya, akan menyimaknya, akan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai. Demikianlah para bhikkhu, khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, akan lenyap.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Ketika khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata, yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, sedang dibacakan, maka kami akan bersemangat mendengarnya, akan menyimaknya, akan mengarahkan pikiran kami untuk memahaminya; dan kami akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”




SN 20.8 :  Kaliṅga­rūpadhāna Sutta [Balok Kayu]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Vesāli di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, sekarang para Licchavi menggunakan balok kayu sebagai alas duduk; mereka rajin dan tekun dalam latihan. Raja Ajātasattu dari Magadha, putra Videhi, tidak dapat menguasai mereka; tidak dapat mencengkeram mereka. Tetapi di masa mendatang para Licchavi akan menjadi lunak, dengan tangan dan kaki yang lembut; mereka akan tidur hingga matahari terbit, di atas kasur yang empuk dengan bantal dari bahan wol katun. Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha akan dapat menguasai mereka; kemudian ia akan mencengkeram mereka.

“Para bhikkhu, sekarang para bhikkhu menggunakan balok kayu sebagai alas duduk; mereka rajin dan tekun dalam latihan. Māra Si Jahat tidak dapat menguasai mereka; tidak dapat mencengkeram mereka. Tetapi di masa mendatang para bhikkhu akan menjadi lunak, dengan tangan dan kaki yang lembut; mereka akan tidur hingga matahari terbit, di atas kasur yang empuk dengan bantal dari bahan wol katun. Kemudian Māra Si Jahat akan dapat menguasai mereka; ia akan dapat mencengkeram mereka.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggunakan balok kayu ini sebagai alas duduk, kami akan berlatih dengan rajin dan tekun dalam berusaha.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”




SN 20.9 : Nāga Sutta [Gajah Besar]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan terlalu sering mendatangi para keluarga. Para bhikkhu lain memberitahunya: “Yang Mulia seharusnya tidak terlalu sering mendatangi para keluarga,” tetapi ketika ia dinasihati oleh mereka ia berkata: “Para bhikkhu senior ini berpikir bahwa mereka boleh mendatangi para keluarga, mengapa saya tidak boleh?”

Kemudian sejumlah bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau; duduk di satu sisi, dan melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau terdapat danau besar di sebuah hutan, dengan gajah-gajah besar berdiam di sekitarnya. Gajah-gajah itu akan berendam dalam danau, mencabut tangkai-tangkai teratai dengan belalai mereka, dan, setelah mencucinya bersih-bersih, mengunyahnya, mereka menelannya tanpa lumpurnya. Ini meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka tidak menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Anak-anak mereka yang masih muda, meniru gajah-gajah besar itu, terjun ke danau dan mencabut tangkai-tangkai teratai dengan belalai mereka, tetapi tanpa mencucinya bersih-bersih, tanpa mengunyahnya, mereka akan menelannya bersama dengan lumpurnya. Ini tidak meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Demikian pula, para bhikkhu, di sini para bhikkhu senior merapikan jubah di pagi hari dan, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Di sana mereka membabarkan Dhamma, dan umat-umat awam berkeyakinan terhadap mereka. Mereka memanfaatkan perolehan mereka tanpa terikat padanya, tanpa menggandrunginya, tanpa terserap membuta di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Ini meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka tidak menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Para bhikkhu yang baru ditahbiskan, meniru para bhikkhu senior, merapikan jubah di pagi hari, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Di sana mereka membabarkan Dhamma, dan umat-umat awam berkeyakinan terhadap mereka. Mereka memanfaatkan perolehan mereka dengan terikat padanya, menggandrunginya, terserap membuta di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya. Ini tidak meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menggunakan perolehan kami tanpa terikat padanya, tanpa menggandrunginya, tanpa terserap membuta di dalamnya, dengan melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”



SN 20.10 : Biḷāla Sutta [Kucing]

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang bhikkhu terlalu akrab bergaul dengan para keluarga. Para bhikkhu lain memberitahunya: “Yang Mulia seharusnya tidak terlalu akrab bergaul dengan para keluarga,” tetapi walaupun ia dinasihati oleh mereka ia tidak berhenti.

Kemudian sejumlah bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau; duduk di satu sisi, dan melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau seekor kucing berdiri di sebuah lorong atau saluran air atau pembuangan sampah melihat seekor tikus kecil, berpikir: ‘Ketika tikus kecil ini keluar untuk mencari makan, tepat di sana aku akan menangkap dan memangsanya.’ Kemudian tikus kecil itu keluar mencari makanan, dan kucing itu seketika menangkapnya dan menelannya dengan terburu-buru, tanpa mengunyahnya. Kemudian tikus kecil itu memakan usus dan selaput pembungkus organ dalam si kucing, dan karena itu kucing itu menemui kematian dan penderitaan mematikan.

“Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa bhikkhu merapikan jubah di pagi hari dan, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terkendali, tanpa menegakkan perhatian, tidak terkendali indrianya. Ia melihat perempuan di sana yang berpakaian minim dan nafsu menguasai pikirannya. Dengan pikirannya dikuasai nafsu, ia menemui kematian atau penderitaan mematikan. Karena inilah, para bhikkhu, kematian dalam Disiplin Seorang Mulia: bahwa seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah. Ini adalah penderitaan mematikan: bahwa seseorang melakukan suatu pelanggaran merusak yang memerlukan rehabilitasi.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran terkendali, dengan perhatian ditegakkan, terkendali dalam indria kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” 



SN 20.11 : Sigāla 1 Sutta [Serigala (1)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apakah kalian mendengar lolongan serigala tua saat fajar menyingsing?”
“Ya, Yang Mulia.”

“Serigala tua itu menderita penyakit yang disebut kudisan. Namun ia masih bepergian ke mana pun ia menginginkan, berdiri di mana pun ia menginginkan, duduk di mana pun ia menginginkan, berbaring di mana pun ia menginginkan, dan angin sejuk menerpanya. Adalah baik bagi seseorang tertentu yang mengaku sebagai pengikut putra Sakya jika ia mengalami bahkan bentuk kehidupan demikian.
“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” 



SN 20.12 : Sigāla 2 Sutta [Serigala (2)]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apakah kalian mendengar lolongan serigala tua saat fajar menyingsing?”
“Ya, Yang Mulia.”

“Mungkin ada sedikit kepuasan dan rasa syukur dalam diri serigala tua itu, tetapi tidak ada kepuasan dan rasa syukur dalam diri seseorang tertentu yang mengaku sebagai pengikut putra Sakya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan puas dan bersyukur, dan kami tidak akan mengabaikan bahkan bantuan terkecil yang dilakukan untuk kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” 

Karma JIgme

Instagram